Wednesday, May 20, 2009

Bagaimana Definisi " Kerja Keras" bagi Orang Jepang

Jepang dikenal sebagai bangsa yang memiliki sifat pekerja keras. Hal tersebut seakan telah menjadi budaya yang telah mendarah daging sejak dulu. Kebudayaan Jepang dipengaruhi oleh karakteristik geografis negaranya yang mempengaruhi karakteristik rakyatnya. Salah satu kepribadian bangsa Jepang yang mengungguli bangsa lain adalah ketekunan bekerja dan rasa kesetiaan yang luar biasa pada perusahaan atau tempatnya bekerja, menurut Inazo Nitobe (1908) hal ini dilandasi oleh semangat bushidô. Pada awalnya bushidô berarti "Tata kehidupan ksatria militer", atau "Jalan hidup Bushi " menurut Yamaga Sokô dalam De Bary et al. (2001), yang bersumber dari agama Budha, aliran Zen, kepercayaan Shintô dan ajaran Konfusius yang merupakan etika moral kaum samurai pada masa shôgun Tokugawa. Semua ajaran ini menanamkan sikap moral yang positif seperti keberanian, kehormatan dan harga diri, kesetiaan dan pengendalian diri, kesungguhan, kejujuran, hemat, kemurahan hati, kesopanan dan keramahtamahan, kerendahan hati, serta mementingkan hubungan moral antara atasan dengan bawahan, ayah dengan anak, suami dengan isteri, kakak dengan adik, teman dengan teman. Paradigma dan perasaan bushidô memberi tekanan pada segi mental spiritual di atas segi lahiriah dan material. Walaupun segi lahiriah dan material tidak diabaikan, tapi yang dianggap menentukan dalam mencapai hasil adalah aspek mental.
Bekerja lembur tanpa dibayar merupakan salah satu bentuk komitmen pada perusahaan. Kesungguhan dan sikap kerja keras pekerja Jepang tidak dapat ditandingi oleh bangsa-bangsa lain sehingga mereka sanggup mengorbankan kepentingan pribadi dan juga waktu bersama keluarga. Meskipun pekerja Jepang bekerja lima hari seminggu, catatan jam kerja mereka paling tinggi dibandingkan pekerja Eropa Barat dan AS. Akan tetapi, kesejahteraan ekonomi dan sosial yang pekerja Jepang dirasakan menyebabkan adanya sedikit penurunan dalam jam kerja mereka. Meskipun begitu, jumlah itu tetap yang tertinggi di dunia.
Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992, jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jumlah jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Perkiraan tersebut berdasarkan penggunaan jam kerja secara maksimal dan produktif.
Latar belakang sejarah dengan pendekatan sosial budaya mungkin bisa dijadikan faktor penting terhadap kebiasaan bangsa Jepang bekerja begitu keras (dengan jam kerja yang panjang), namun tidak ada bukti sejarah nyata yang menunjukkan bahwa orang-orang Jepang di masa sebelum Era Restorasi Meiji pada tahun 1968 bekerja lebih keras dibandingkan orang-orang pada era pre-industri. Dengan mengabaikan faktor budaya tersebut, setidaknya bisa diidentifikasi terdapat empat faktor yang mempengaruhi waktu kerja yang panjang di Jepang, yaitu lemahnya kekuatan dari serikat pekerja dan ketidakmampuannya untuk menyuarakan protes terhadap pengurangan jam kerja; strategi persaingan internal dalam sistem manajemen yang diterapkan oleh perusahaan di Jepang; tidak adanya kebijakan khusus yang dibuat pemerintah Jepang berkaitan dengan lamanya waktu bekerja; serta tekanan dunia internasional.
Pertama, lemahnya kekuatan dari serikat pekerja dan ketidakmampuannya untuk menyuarakan protes terhadap pengurangan jam kerja. Serikat pekerja di Jepang hanya ada terbatas pada perusahaan-perusahaan besar saja, sedangkan tidak pada perusahaan-perusahaan kecil. Peran serikat kerja hanya berpengaruh pada terjaminnya tingkat penghasilan yang lebih tinggi ketika perkembangan ekonomi Jepang tumbuh dengan cepat, tapi tidak mempunyai peran dalam pengurangan jam kerja.
Kedua, faktor yang berpengaruh terhadap waktu kerja yang panjang di Jepang berhubungan dengan sistem manajemen yang diterapkan oleh tiap perusahaan di Jepang. Terjadi persaingan yang sangat ketat pada tingkat internal perusahaan dimana terjadi persaingan antardivisi, misalnya terjadi persaingan di bagian produksi perusahaan, dimana adanya persaingan antara unit-unit produksinya. Sebetulnya persaingan tersebut sengaja dikondisikan sebagai salah satu strategi manajemen.
Ketiga, berhubungan dengan tidak adanya kebijakan khusus yang dibuat pemerintah berkaitan dengan lamanya waktu bekerja. Pada periode kabinet perdana menteri Kiichi Miyazawa (1991-1993), telah ditetapkan pada rencana 5 tahun kebijakan ekonominya dimana pemerintah Jepang menerapkan lamanya jam kerja di Jepang sekitar 1,800 jam per tahunnya. Walaupun sampai saat ini pemerintah Jepang tidak mengeluarkan satupun kebijakan yang berkaitan dengan pelarangan jam kerja berlebih atau meminimalkan kejadian Karoshi. Secara umum kondisi pasar di Jepang merupakan pasar persaingan sempurna atau ‘non-regulated sphere’ dimana campur tangan pemerintah sangat kecil dalam mekanismenya.
Faktor keempat, berhubungan dengan tekanan dunia internasional. Pemerintah Jepang dan perusahaan-perusahaannya mulai mengevaluasi tentang pengurangan jam kerja setelah adanya tekanan Amerika Serikat dan beberapa negara barat yang berpendapat bahwa yang menjadi penyebab terjadinya kompetisi yang tidak seimbang dalam perekonomian dunia diakibatkan oleh perbedaan proporsi jam kerja yang ekstrim antara beberapa negara umumnya dengan jam kerja yang tinggi di Jepang. Sebagai contoh, penetapan sistem kerja lima hari dalam seminggu yang diterapkan pada seluruh universitas dan bank diadopsi setelah makin meningkatnya friksi perdagangan antara Amerika Serikat dan Jepang. Kasus lainnya, rencana kabinet Miyazawa untuk mengurangi jam kerja hingga 1,800 jam per tahun sebagai bagian dari kebijakan ekonominya, juga merupakan produk kebijakan yang lahir akibat tekanan dunia internasional. Namun demikian, di sisi lain, keterlibatan Jepang pada ekonomi dunia berimplikasi pada para pekerja di bursa saham dan asuransi yang semakin meningkatkan pengawasan terhadap fluktuasi exchange rate di bursa saham. Mereka yang bekerja di trading company maupun perusahaan multinasional,‘dipaksa’ untuk selalu siap bekerja 24 jam dalam melakukan koreksi terhadap setiap pergerakan penjualan pada pasar saham dunia di Tokyo, maupun di pasar saham New York dan London. Mereka dituntut untuk bisa selalu siaga selama 24 jam yang menyebabkan tingkat stress yang cukup tinggi. Hal tersebut berkaitan erat dengan terus meningkatnya insidensi Karoshi yang terjadi pada pekerja muda yang bekerja di bank atau perusahaan saham.
Didalam bukunya The achieving society (1961) McClelland merumuskan bahwa motivasi manusia dibagi kedalam tiga kebutuhan utama, yaitu : Kebutuhan untuk berprestasi (Need for achievement), Kebutuhan untuk berkuasa (Need for power) dan Kebutuhan untuk berafiliasi (Need for affiliation). Pokok penting dari masing-masing kebutuhan berbeda untuk tiap-tiap individu dan juga tergantung pada latar belakang kultur masing-masing individu. Ia juga menyatakan bahwa motivasi yang kompleks ini adalah suatu faktor penting didalam perubahan sosial dan evolusi didalam kemasyarakatan.
Didalam teori kebutuhan yang digambarkan dalam model Murray, David McClelland mengatakan bahwa kebutuhan individu diperoleh dari waktu ke waktu dan dibentuk melalui pengalaman hidup seseorang. Sebagian besar dari kebutuhan ini dapat dikelompokkan menjadi prestasi, afiliasi dan kekuasaan. Keefektifan seseorang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dipengaruhi oleh ketiga kebutuhan tersebut.
Sesuai dengan namanya teori kebutuhan yang dipelajari, maka teori ini pada awalnya didasari pada kenyataan bahwa para sarjana yang memiliki prestasi tinggi di kampus tidak selamanya dapat menunjukkan prestasi yang tinggi didalam pekerjaan. Atas dasar tersebut dilakukan penelitian terhadap para pekerja yang sukses, dan mengapa mereka dapat sukses dalam pekerjaannya. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan maka diperoleh karakteristik yang ditunjukkan oleh individu dengan kinerja yang menonjol. Karakteristik tersebut mungkin juga dimiliki oleh mereka yang tidak berprestasi menonjol, tetapi pada mereka yang berprestasi menonjol, karakteristik tersebut lebih sering ditunjukkan dan diberbagai situasi dengan hasil yang lebih baik. Hal tersebut dikenal dengan istilah kompetensi.
Pada perkembangan selanjutnya kompetensi diuraikan lebih lanjut dengan uraian bahwa struktur kompetensi dibedakan menjadi dua, yaitu hard competancy dan Soft competancy. Hard competancy adalah kompetensi yang kelihatan dipermukaan dan lebih mudah dikembangkan, seperti keterampilan dan pengetahuan, sedang Soft competancy adalah bagian yang tidak terlihat karena berupa nilai citra diri seseorang dan sifat motif dari seseorang, kompetensi ini lebih sulit dikembangkan, dan kompetensi jenis ini yang lebih menentukan keberhasilan dalam jangka panjang.
Kompetensi menjadi sesuatu yang penting saat ini, sebab dari berbagai penelitian yang dilakukan bahwa kompetensi berperan membantu individu untuk mencapai sasaran yang harus dicapai, dengan demikian penting bagi setiap individu untuk mengetahui dan memahami kompetensi yang dimilikinya dan keterkaitannya dalam pencapaian sasaran.
n.Ach adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh David McClelland kedalam bidang psikologi, menunjukkan keinginan individu untuk secara signifikan berprestasi, menguasai skill, pengendalian atau standar tinggi. n.Ach berhubungan dengan kesulitan orang untuk memilih tugas yang dijalankan. Mereka yang memiliki n. Ach rendah mungkin akan memilih tugas yang mudah, untuk meminimalisasi risiko kegagalan, atau tugas dengan kesulitan tinggi, sehingga bila gagal tidak akan memalukan. Mereka yang memiliki n. Ach tinggi cenderung memilih tugas dengan tingkat kesulitan moderat, mereka akan merasa tertantang tetapi masih dapat dicapai. Mereka yang memiliki n.Ach tinggi memiliki karakteristik dengan kecenderungan untuk mencari tantangan dan tingkat kemandirian tinggi.
Orang-orang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement/n-Ach) yang tinggi mencoba melampaui dan dengan demikian cenderung menghindari situasi yang berisiko rendah dan tinggi. Orang-orang yang berprestasi tinggi (achievers) menghindari situasi dengan risiko rendah karena dengan mudah mencapai kesuksesan yang bukan pencapaian yang sungguh-sungguh. Dalam proyek dengan risiko tinggi, achievers melihat hasilnya sebagai suatu kesempatan yang melampaui kemampuan seseorang. Individu dengan n. Ach tinggi cenderung bekerja pada situasi degan tingkat kesuksesan yang moderat, idealnya peluang 50%. Achievers membutuhkan umpan balik yang berkesinambungan untuk memonitor kemajuan dari pencapaiannya. Mereka lebih suka bekerja sendiri atau dengan orang lain dengan tipe achievers tinggi.
Banyak pengusaha mungkin gagal di dalam kelompoknya tetapi tidak pada pekerjaannya. Mereka sangat puas dengan penghargaan yang didasarkan pada pencapaian prestasinya. Sumber n.Ach meliputi :
1. Orang tua yang mendorong kemandirian dimasa kanak-kanak
2. Menghargai dan memberi hadiah atas kesuksesan
3. Asosiasi prestasi dengan perasaan positif
4. Asosiasi prestasi dengan orang-orang yang memiliki kompetensi dan usaha sendiri bukan karena keberuntungan.
5. Suatu keinginan untuk menjadi efektif atau tertantang
6. Kekuatan pribadi.
Sebagai contoh Hay mendefenisikan salah satu kompetensi yaitu dorongan berprestasi (achievement orientation) adalah perhatian untuk bekerja dengan baik atau melampaui standar prestasi. Standar tersebut dapat berupa prestasi diri sendiri dimasa lampau (improvement), ukuran yang objektif (result orientation) atau sesuatu yang belum dilakukan orang lain (innovation). Hal ini menunjukkan dorongan untuk bertindak lebih baik dan efisien.
Tingkatan:Bekerja dengan baik untuk mencapai suatu target.
Mencapai standar prestasi yang ditentukan.
Meningkatkan kinerja
Menetapkan dan mencapai sasaran yang menantang
Membuat analisis cost – benefit.
Mengambil risiko wirausaha yang diperhitungkan.
Apabila didalam suatu posisi jabatan (job) ditentukan kompetensi minimal yang dibutuhkan untuk dorongan berprestasi adalah pada level 4, maka akan dicari kandidat yang menunjukkan karakteristik selalu membuat target pribadi yang melampaui target yang ditetapkan, dengan cara yang inovatif dan sebelumnya menunjukkan hasil yang melampaui target yang ditetapkan.
Orang yang tergolong pada high achiever harus diberikan pekerjaan yang menantang dengan sasaran akhir yang masih dapat dicapai. Bagi mereka uang bukanlah suatu motivator yang penting, yang lebih efektif adalah umpan balik atas apa yang telah mereka lakukan.
Berdasar pada Learned needs theory dari McClelland, telah dilakukan berbagai observasi dan penelitian yang meneliti karakteristik yang ditunjukkan oleh individu dengan kinerja yang menonjol, atau lebih dikenal dengan istilah kompetensi. Berdasarkan kompetensi yang diharapkan tersebut selanjutnya telah berkembang pusat-pusat pelatihan untuk membentuk kompetensi yang diharapkan, bahkan sekolah-sekolah setidaknya telah mengiklankan program pendidikannya sebagai pendidikan yang berdasarkan pada kompetensi.
Faktor internal berupa motivasi juga menjadi faktor yang cukup berpengaruh besar dalam budaya kerja di Jepang. Orang-orang Jepang memiliki kecenderungan motivasi n-Ach (need for Achievement) dimana mereka berorientasi pada prestasi kerja. Namun di satu sisi, pola kerja mereka yang begitu di luar batas bertolak belakang dengan teori yang diuraikan oleh McClelland, karena tipe n-Ach akan bisa memilih tingkatan kerja yang tinggi namun masih bisa dijangkau. Kasus Karoshi menjadi indikator bahwa pola kerja yang diterapkan di Jepang kontraproduktif, sehingga terjadi deviasi dari motivasi kerja n-Ach berdasar teori McClelland.
Dapatkah pemerintah Jepang mengintervensi untuk mengontrol jam kerja di Jepang?
Pemerintah Jepang dapat mengintervensi untuk menghentikan pekerja dari bekerja keras yang berlebihan dengan menerapkan berbagai peraturan yang dibuat bersama dengan serikat pekerja. Seperti penentuan jam kerja lembur yang diperbolehkan untuk para pekerja di Jepang. Penentuan jam kerja lembur di Jepang sudah mencapai kata sepakat antara perusahaan dan serikat pekerja. Batasan jam lembur yang disepakati yaitu 5 jam untuk pekerja laki-laki dan 2 jam untuk pekerja perempuan. Namun pada waktu tertentu yang biasa disebut dengan “Special Busy”, jam lembur karyawan terutama karyawan produksi, pemeliharaan dan perbaikan dapat mencapai 15 jam per hari. Sehingga pada “Special Busy” pekerja bisa bekerja mencapai 23 jam perhari. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan serikat pekerja dapat tidak berjalan, karena kebutuhan industry untuk memenuhi permintaan pasar. Intervensi pemerintah Jepang sampai saat ini belum dapat merubah perilaku jam kerja yang berlebihan pada pekerja Jepang. Karena budaya masyarakat Jepang yang memiliki tingkat kesetiaan yang tinggi terhadap perusahaan dan loyalitas untuk mempertahankan kepercayaan konsumen, dengan menghasilkan produk yang tepat waktu dan kualitas.
Berdasarkan penelitian Tetsuro Kato (1994) mengenai Karoshi yang banyak terjadi di Jepang, menunjukkan bahwa upaya pemerintah Jepang untuk mengatasi Karoshi belum banyak dilakukan bahkan terkesan ditutupi dan tidak peduli. Saat ini masyarakat Jepang memiliki kekhawatiran yang besar akan meninggalnya anggota keluarga mereka akibat bekerja terlalu besar. Pemerintah Jepang tidak mengakui adanya insiden Karoshi namun menyebutnya dengan istilah Totsuzen-shi (sudden death). Sudden death merupakan kematian yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak bisa dikategorikan sebagai kematian yang terjadi karena bekerja secara berlebihan. Alasan pemerintah Jepang tidak mau mengakui bahwa penyebab kematian beberapa pekerja belakangan ini disebabkan jam kerja yang berlebih yaitu untuk menghindari adanya tekanan kepada sistem asuransi kompensasi pekerja. Jika jam kerja yang berlebih dijadikan penyebab kematian yang banyak terjadi di Jepang, maka Jepang akan menghadapi tekanan untuk mengeluarkan asuransi bagi para pekerjanya dengan jumlah yang besar.
Berdasarkan fakta yang telah dijabarkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah Jepang dapat mengintervensi pengurangan jam kerja pekerjanya, namun hal ini masih sulit dilakukan karena budaya dan prinsip kerja masyarakatnya. Namun jika pemerintah tidak mau mengeluarkan biaya asuransi kematian yang besar, maka pemerintah harus mampu mengintervensi kelebihan jam kerja ini. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintahanJepang untuk mengurangi jam kerja yang berlebih yaitu dengan cara menerapkan kembali kebijakan khusus seperti yang dibuat oleh pemerintah pada periode kabinet perdana menteri Kiichi Miyazawa. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah Jepang yaitu membuat peraturan tentang kewajiban pemberian uang lembur kepada pekerja dan pembatasan jumlah jam kerja sebanyak 1800 jam. Pembatasan jumlah jam kerja yang berlebih dari dilakukan dari kesadaran para pekerjanya sendiri. Para pekerja mengintervensi serikat pekerja untuk melakukan tuntutan agar pengurangan jam kerja dapat terealisasi.
Pada periode kabinet perdana menteri Kiichi Miyazawa (1991-1993), telah ditetapkan pada rencana 5 tahun kebijakan ekonominya dimana pemerintah Jepang menerapkan lamanya jam kerja di Jepang sekitar 1,800 jam per tahunnya. Walaupun sampai saat ini pemerintah Jepang tidak mengeluarkan satupun kebijakan yang berkaitan dengan pelarangan jam kerja berlebih atau meminimalkan kejadian Karoshi. Secara umum kondisi pasar di Jepang merupakan pasar persaingan sempurna atau ‘non-regulated sphere’ dimana campur tangan pemerintah sangat kecil dalam mekanismenya.
Lebih Produktifkah Orang Jepang?
Jam kerja yang berlebih mengakibatkan peningkatan stress yang akan berdampak pada penurunan daya tahan tubuh. Sehingga pekerja yang memiliki tingkat stress yang tinggi cenderung memiliki tingkat kesehatan yang lebih rendah yang dapat mengganggu kinerjanya. Pada tahun 2001, komisi ISTC (Industrial Safety Training Council) menemukan bahwa terdapat bukti yang kuat bahwa aspek psikososial dalam bekerja seperti lamanya waktu kerja, beban kerja yang berat, ketidakmampuan dalam penyelesaian tugas, ketidakmampuan dalam hubungan sosial, kurangnya kesempatan dalam peningkatan karir berpengaruh terhadap kesehatan mental dan fisik pekerja. Stres menyebabkan gangguan pada sistem otot dan sirkulasi, serta meningkatkan resiko penyumbatan darah pada jantung. Hal tersebut berpengaruh besar terhadap suplai darah ke otak.
Stress yang timbul dari akibat bekerja secara berlebihan atau melampaui jam kerja yang seharusnya selain dapat menurunkan daya tahan tubuh pekerja dan produktivitas kerjanya, dapat mengakibatkan kerugian di pihak perusahaan, karena ada cost yang harus perusahaan bayar sebagai akibat dari penurunan produktivitas kinerja pekerjanya.
Pengaruh stress terhadap Cost yang harus dikeluarkan oleh perusahaan:
- Di Inggris, terhitung terjadi kerugian lebih dari 40 juta poundsterling tiap tahunnya berkaitan dengan dengan stress di lingkungan kerja, atau setara dengan 2 sampai 3 kali tiap sen pada GDP di Inggris per tahunnya.
- Di Australia, Kementrian Industri Australia memperkirakan bahwa cost yang harus dikeluarkan berkaitan dengan stress sekitar A$ 30 juta pada tahun 1994 (US$ 22 juta). Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi sebesar A$ 55 juta untuk membayar klaim berkaitan dengan stress.
- Di Amerika Serikat, terjadi kerugian akibat hilangnya 550 juta hari kerja tiap tahunnya akibat meningkatnya kasus stress di Amerika.
- Di Swiss, Cost yang harus dikeluarkan langsung untuk menutupi dampak dari stress di lingkungan kerja sebesar CHF 4,2 milyar (US$ 2,6 milyar) di tahun 2000
Sumber: ILO, Safework and International Metalworker’s Federation. Data Swiss didapat dari State Secretariat for Economic Affairs.

Berdasarkan data-data di atas, kondisi bekerja yang terlalu panjang justru malah bersifat kontraproduktif, baik bagi perusahaan maupun individu pekerja. Efek yang ditanggung oleh pekerja secara langsung adalah kondisi fisik yang menurun dalam jangka panjang, yang diikuti dengan penurunan produktifitas. Sedangkan bagi perusahaan adalah kehilangan sejumlah keuntungan dalam bentuk cost tambahan yang harus dibayar oleh perusahaan.
dikutip: dari beberapa sumber

Referensi:
Anonim. 1999. Final Report. Symposium on the Social and Labour Consequences of Technological Development, Deregulation and Privatization of Transport Geneva. 20-24 September 1999. Geneva: International Labour Office.
De Bary, W. 2001. Sources of Japanese Tradition. 2nd Vol. New York: Columbia University Press.
Gibson, James L. 1997. Organizations : behavior, structure, processes. 9th Ed. New York: Oxford University Press.
McClelland, D.C. 1961. The achieving society. Princeton: Van Nostrand.
McClelland, D.C., Atkinson, J.W., Clark, R.A., & Lowell, E.L. 1953. The Achievement Motive. Princeton: Van Nostrand.
Murray, H.A. 1938. Explorations in Personality. New York: Oxford University Press.
Nitobe, I. 1908. Bushido, the Soul of Japan. 13th Ed. Hyderabad: State Central Library.
Kato, T. 1994. The Political Economy of Japanese Karoshi. Paper. the Panel MT4.2.2: "Democracy, Economy and the Workplace" (Chair: W. Rand Smith) of the XVIth World Congress of the International Political Science Association. 20-25 August 1994. Berlin: International Congress Centrum.

3 comments:

  1. Panjang banget tulisannya.
    Ga pakai jeda paragraf lagi :)

    ReplyDelete
  2. Kerja keras dan cerdas kalau mau kaya.. Hehehe .

    ReplyDelete
  3. Kedua, faktor yang berpengaruh terhadap waktu kerja yang panjang di Jepang berhubungan dengan sistem manajemen yang diterapkan oleh tiap perusahaan di Jepang.
    LukQQ
    Situs Ceme Online
    Agen DominoQQ Terbaik
    Bandar Poker Indonesia

    ReplyDelete