Sunday, June 28, 2009

Pelajaran yang seharusnya kita contoh dari Jepang

Perjalanan ke Jepang memberikan beberapa pelajaran berharga yang bermanfaat, serta memberikan 'ibrah yang dapat membuka wawasan baru, sesuatu yang sangat penting.

Disiplin Waktu

Menghargai waktu sudah jadi bagian akidah dasar orang Jepang. Di Jepang, waktu tidak lagi diukur dengan ukuran bulan, minggu atau hari, tapi berdasarkan ukuran jam dan menit. hal ini terbukti saat saya pergi untuk naik kereta. saat itu kereta di jadwalkan tiba pukul 14;38 menit. saya tiba 1 menit ssetelah itu wah. apa yang terjadi, saya tertinggal kereta tersebut dan harus menunggu kereta selanjutnya sekitar 20 menit kemudian. pokoknya tidak ada tawar menawar waktu deh di Jepang itu. :(


Jalan Kaki atau Naik Sepeda

Mau bergaya naik mobil pribadi di Jepang?

Boleh-boleh saja. Tapi sebentar, di Tokyo jarang ada tempat parkir. Kalau pun ada, harganya mahal. Dan jangan coba-coba parkir sembarangan, atau melebihi batas maksimal waktu yang dibolehkan. Bisa-bisa mobil kita ditempeli surat oleh polisi.

Mau tahu dendanya? Ya, sekitar 1, 2 jutaan rupiah. Wah, lumayan juga ya. Itulah mengapa kita harus berpikir berkali-kali kalau mau beli mobil di Tokyo. Apalagi sudah ada subway yang jauh lebih murah, dinamis dan juga bisa mengkases semua wilayah di Tokyo.

Walhasil, apakah dia pejabat, direktur atau pun tukang sapu, kita lihat mereka pergi ke mana-mana jalan kaki atau naik subway. Tidak ada perbedaan apakah mereka kaya ataukah miskin, semua sama-sama antri, semua sama-sama berbagi di dalam kereta subway yang penuh sesat, tapi aman dan nyaman.

Justru buat kami sedikit problem, karena tidak biasa olahraga walau pun hanya jalan kaki. Melihat orang ke mana-mana jalan kaki, kayaknya orang Jepang itu tidak ada capeknya. Sementara kaki ini sudah lecet karena dibawa jalan kaki ke mana-mana. Dan jangan coba-coba cari tukang ojek di Tokyo, ditanggung tidak ada.

Di Tokyo dan juga kota-kota lain di Jepang, jalan-jalan disediakan buat para pejalan kaki dan juga mereka yang bersepeda. Nah, khusus untuk bersepeda, memang terasa sangat nyaman. Kita tidak takut kesenggol mobil atau kendaraan bermotor lain. Karena telah dibuatkan jalan khusus.

Sudah irit tanpa bahan bakar bensin, juga badan jadi sehat. Sudah lazim di berbagai gedung terdapat parkir sepeda. Mulai dari orang kecil sampai orang besar, mereka biasa bersepeda.

Tidak Mau Mengambil Yang Bukan Haknya

Masyarakat Jepang mempunyai kebiasaan baik, yaitu melaporkan kepada polisi bila menemukan barang temuan atau barang hilang.

Heran, ini bukan negara Islam, tidak pernah berjargon syariah. Tapi implementasi syariah ternyata ada juga di Jepang. Yah, walau pun kita juga tidak bisa langsung bilang bahwa Jepang itu Islam. Sebab yang mabok juga banyak. Yang kumpul kebo juga tidak kurang.

Tapi urusan keamanan dan kejujuran, bisa diuji. Kalau ada orang kehilangan dompet di tempat umum, 90 - 100% kemungkinan dompet itu akan kembali kepada kita. Terutama bila ada kartu nama atau ID cardnya.

Mungkin karena sudah ditanamkan jujur sejak masih SD, tapi dipikir-pikir enggak juga ya. Di negeri kita, penanaman akhlaq dan budi pekerti serta kejujuran juga tidak kurang. Tapi herannya, kalau kita kehilangan dompet, meski sering juga kembali, tapi duitnya biasanya sudah raib.

Nah, bedanya dengan di Jepang, dompet itu kembali sendiri, masih lengkap dengan isinya, tidak kurang sedikit pun. Kita cukup lapor saja ke pos polisi terdekat. Biasanya, dompet itu malah sudah ada di kantor polisi itu. Ada orang jujur yang mau mengembalikan dompet itu 'apa adanya'.

Pengalaman dulu isteri di Jakarta kehilangan dompet, fungsinya laporan ke polisi hanya sekedar dapat surat keterangan kehilangan. "Lha wong saya saja kehilangan motor, pak", begitu kata polisinya. "Makanya hati-hati kalau bawa dompet, bu", tambah pak polisi.

Iya ya, ngapain lapor polisi, kalau polisinya saja kehilangan motor. Lalu bagaimana beliau-beliau mau nyari dompet kita? Waduh, memang serba salah hidup di negara kita sendiri.

Senyap, Hobi Baca Sedikit Ngobrol

Salah satu kebiasaan masyarakat di Jepang yang kami perhatikan adalah mereka sangat menghargai kesenyapan, jauh dari kebisingan. Jarang kami dapati orang Jepang ngobrol tertawa-tawa di tempat umum, hingga mengganggu orang lain.

Ketika kami masuk ke sebuah warung makan Pakistan, barulah aroma berisik ngobrol terasa, karena ada beberapa orang Pakistan yang lagi makan. Mereka bisa sambil makan sambil ngobrol dan berisik. Sesuatu yang tidak terjadi pada orang Jepang.

Satu hal lagi yang juga tidak luput dari pengamatan kami, orang Jepang ini rata-rata pada hobi membaca. Di semua tempat, termasuk di dalam subway, mereka selalu pegang bacaan, entah buku atau pun koran. Atau kalau tidak, mereka sibuk menunduk memencet-mencet tombol HP. Tapi tidak bertelepon, mungkin lagi SMS atau malah membaca e-book.

Pemandangan ini agak berbeda dengan di negeri kita. Di dalam bus kota, kebisingan sangat kentara. Belum kondektur yang teriak-teriak, orang-orang yang ngobrol ngalor ngidul ke sana kemari. Bahkan masih diberisiki lagi dengan tukang ngamen yang tidak pernah ada hentinya.

Kebisingan sudah jadi bagian dari akidah hidup kita rupanya. Sesuatu yang kita tidak temukan di tempat umum di Tokyo. Masing-masing saling menjaga hak privasi orang lain, terutama dalam masalah kebisingan.

Menghargai Tenaga Manusia

Di Jepang, hampir semua tenaga kerja dibayar mahal. orang - orang di jepang mengatakan bahwa kalau mau saja, seseorang boleh bekerja part-time dan dibayar dengan upah yang bisa buat berlibur ke pulau Bali.

"Oh, jadi turis-turis Jepang yang rajin ke Bali itu, boleh jadi di Jepang cuma tukang sampah atau cleaning service, ya?", tanya kami. "Benar sekali, apalagi Garuda punya harga yang sangat menarik, maka penerbangan Tokyo Denpasar cukup diminati", jawab beliau. "Dan cukup dari upah kerja kasar saja", tambahnya.

Yang menarik, perbedaan nilai gaji pegawai rendahan atau kuli bangunan dengan pejabat tinggi tidak terlalu terpaut jauh. Sehingga jarang terjadi demo buruh di negeri ini. Semua kebutuhan buruh terpenuhi dengan cukup.

Wah, berarti kalau bikin partai yang mengusung agenda membela wong cilik, bisa-bisa tidak laku nih di Jepang. Sebab boleh dibilang tidak ada wong cilik di Jepang. Yang ada hanyalah wong cilik tapi bergaji gede. Maka sudah tidak lagi disebut wong cilik.

Budaya Malu

Orang punya budaya malu yang tinggi. Dan positifnya, kalau ada pejabat yang gagal dalam memegang amanah, tidak segan-segan mereka mengundurkan diri. Rasa malu mereka itulah yang mendorong mereka mundur.

Bagaimana dengan Indonesia? Adakah budaya malu yang sampai membuat seorang pejabat mundur dari jabatannya?

Entahlah kalau kita buka-buka sejarah. Tapi sekarang ini nyaris tidak ada. Bagaimana mau mundur, lha wong jabatan itu didapat dengan susah payah ditambah susah tidur, kok mundur?

Nanti penyandang dana kecewa. Sebab rata-rata para pejabat di negeri kita ini didanai oleh para penyandang dana alias supporter, ketika pilkada atau pemilu. Kalau hanya karena kegagalan lalu mengundurkan diri, sementara uang jarahan belum memenuhi pundi-pundi, bisa-bisa para cukongnya marah.

Jadi budaya malu lalu mengundurkan diri tidak sesuai dengan prinsip ekonomi yang berakidah: mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Dan jabatan adalah sumber penghasilan, tidak ada kamus malu. Yang ada hanya satu, maju terus menghadapi semua rintahan. Maju tak gentar membela yang bayar. Hehehe, sangat Indonesiawi.

Salam dan Sapaan

Mengucapkan salam adalah salah satu ciri masyarakat Jepang. Bahkan termasuk juga ciri polisi Jepang. Tidak jarang polisi lah yang lebih dulu menyapa anggota masyarakat.

Beda banget dengan di negara kita. Semua pengendara kendaraan bermotor kalau lihat polisi kumpul di pinggir jalan, pasti berdesir darahnya. Sebab polisi di negeri kita identik dengan 'masalah'. Sudah tampangnya serem, eh suka minta duit pula.

Di Jepang, perilaku suka menyapa dengan ramah ini berdampak positif pada citra profesi kepolisian. Menyapa atau mengucapkan salam sudah ditanamkan sejak dini pula, sewaktu mereka menjalani pendidikan. Siswa calon polisi dilatih untuk secara terjadwal berjaga di pos pada saat-saat jam sibuk, yaitu pagi, siang dan sore hari. Mereka diwajibkan menyapa setiap warga yang lewat di depan pos tersebut.

Kalau di Indonesia, seandainya ada polisi menyapa kita di jalan, pasti kita sudah bilang, "Pak s..ss..ssaya salah apa pah, ah..eh..anu...bbbuu bukan saya malingnya, p..pak." Suka tidak suka, memang begitulah yang terjadi di negeri kita. Sudah terlanjur kita ketakutan duluan lihat polisi. Gawat.

Jangan-jangan salah satu kegagalan pak Adang Daradjatun dalam pilkada Jakarta justru karena sulit mengubah citra pak polisi ini. Di tengah masyarakat kita ini, citra polisi nyatanya memang masih terlalu berat untuk diangkat. Buktinya, pak Adang kalah dan tidak terpilih. Jangan-jangan orang masih trauma dengan sosok polisi kita.

Selalu Minta Maaf dan Terima Kasih

Kalau sering lihat film-film ninja, kesan bahwa orang Jepang itu angker, angkuh, dingin dan kasar memang bisa terbentuk. Padahal sebetulnya orang Jepang itu tentu tidak semuanya ninja.

Yang kami dapati malah sebaliknya, orang Jepang justru sangat ramah dan kalau terjadi apa-apa, mereka lebih dahulu minta maaf.

Contoh sederhana, kalau di jalan kita tersenggol dengan sesama pejalan kaki, maka spontan akan meluncur dari mulut mereka permintaan maaf. Meski pun bukan kesalahan mereka: suimasen...suimasen (maaf...maaf...).

Kalimat lain yang paling sering kami dengar adalah ucapan terima kasih. Kalau tidak salah dengar mereka mengucapkan arigato gozaimasu (betul nggak ya tulisannya?). Tapi percayalah, itulah kalimat yang paling sering kami dengar selama beberapa hari di Jepang.

Pramugari di Sinkansen itu kalau memeriksa tiket, membungkuknya sangat dalam, bahkan ketika menyerahkan tiket yang sudah mereka periksa, bukan hanya membungkuk, tapi kakinya pun mereka tekuk, seperti orang mau berjongkok. Wah, ini sih lebih sopan dari puteri-puteri Keraton di Yogya dan Solo.

Tertib Ketika Antri

Namanya kota besar, pasti semua harus antri. Tapi yang menarik dari antrian yang di Jepang, semua berjalan dengan tertib. Tidak ada saling sodok, saling sikut dan saling dorong.

Termasuk saat antri masuk ke subway. Meski sudah sangat padat dan petugas terpaksa harus mendorong penumpang biar bisa masuk ke dalam gerbong, tapi yang belum kebagian tetap rela antri dengan manis.

Kesabaran orang Jepang dalam hal antri ini jarang kita temui di negeri kita. Bisa-bisanya mereka berdiri berjejer rapi, meski tidak ada pembatas. Mungkin sudah 'bawaan orok' kali ya.

Fenomena Furiita di Jepang

Akhir-akhir ini, dalam buku panduan almamater beberapa perguruan tinggi, disediakan kolom `Furiitaa` (Freeters) untuk status jenis pekerjaan. Istilah furiitaa diambil dari singkatan Free (bahasa Inggris) dan Arbeit (bahasa Jerman). Furiitaa ditunjukan pada orang-orang yang lebih senang memilih pekerjaan lepas (freeters) sebagai `pekerjaan tetap` tanpa mau terikat menjadi pegawai resmi pada satu perusahaan.

Menurut departemen tenaga kerja Jepang tahun 2003, yang dimaksud dengan furiitaa adalah mereka yang berumur 15 sampai 35 tahun, bukan ibu rumah tangga, tidak memiliki pekerjaan tetap, lebih senang menjalani perkerjaan paruh waktu dan berpindah-pidah tempat.

Dilihat dari data, jumlah furiitaa setiap tahun meningkat. Diperkirakan dalam lima tahun ini furiitaa meningkat menjadi 500 ribu orang lebih. Untuk lulusan perguruan tinggi tahun lalu, diperkirakan yang memilih furiitaa sekitar 23%. Sebagian besar kasus yang terjadi adalah mereka mengundurkan diri dari pekerjaan tetap dengan berbagai macam alasan. Diantaranya tidak sesuai dengan perkerjaan yang digeluti dan lebih senang menjadi furiitaa.

Kondisi seperti ini pernah diangkat dalam novel "Sorekara" oleh Natsume Soseki. Novel ini menceritakan tokoh utama yang bernama Nagai Daisuke, meski telah berumur 30 tahun lebih senang hidup tanpa memiliki pekerjaan tetap. Ia hidup dengan menanti uluran tangan dari kedua orang tua dan kakak laki-lakinya. Waktu yang ada dihabiskan untuk bersenang-senang menggeluti hobi yang digemarinya. Hingga pada suatu hari, orang tua yang bisanya memberinya jatah kebutuhan hidup, memutuskan untuk menghentikan pengiriman uang padanya. Tokoh Daisuke akhirnya terpaksa harus turun naik densha untuk mencari pekerjaan.

Kaum muda Jepang saat ini, tidak sedikit yang mulai senang menjalani hidup seperti tokoh Daisuke diatas. Mereka lebih senang hidup menempel pada orang tua layaknya parasit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Uang yang diperolehnya dari kerja paruh waktu (paato, arubaito) sebagai furiitaa lebih sering digunakan untuk kepentingan pribadi seperti bersengan-senang, tamasya ataupun menyalurkan hobi. Para furiitaa ini akan menolak jika ditawarkan menjadi pegawai tetap dengan alasan tidak bisa memiliki waktu bebas.

Memang tidak semua kasus furiitaa berkesan buruk. Ada diantara beberapa furiitaa yang memang tidak mau memiliki pekerjaan tetap dahulu sampai benar-benar menemukan pekerjaan yang cocok. Alasan mendasar kenapa mereka memilih menjadi freeter sementara adalah "ingin mencari jati diri" atau "pemberontakan terhadap pengekangan kebebasan."

Rupanya sistem manajemen Jepang yang dulu dipandang dengan kagum, kini juga mulai memudar dengan lebih senangnya para anak muda Jepang bekerja sebagai furiitaa. Sedikit demi sedikit manajemen ala Jepang dengan sistem kerja seumur hidup, kesenioran dan serikat pekerja seperusahaan mulai ingin ditinggalkan para anak muda yang memilih menjadi furiitaa.

Tentu saja bertambahnya kasus furiitaa ini menjadi masalah bagi pemerintah Jepang. Dengan semakin bertambahnya furiitaa, pemerintah memperkirakan akan bertambah pula kasus `bankon` (telat menikah), penurunan jumlah anak, penurunan jumlah penduduk. Selain itu peningkatan jumlah furiitaa akan menjadi masalah bagi ekonomi juga sistem pensiun Jepang.

Untuk menghambat makin bertambahnya jumlah furiitaa, pemerintah Jepang kini mendirikan lembaga yang diberi nama Young Support Paza. Maksud pendirian lembaga ini adalah untuk membantu mencarikan pekerjaan yang cocok bagi kaum muda. Juga mengadakan berbagai macam training atau pelatihan. Diantaranya pelatihan bagaimana cara menulis resume untuk lamaran pekerjaan. Diharapkan dengan adanya lembaga ini, para furiitaa dapat menemukan pekerjaan tetap yangcocok dan sesuai dengan keahliannya.

Saturday, June 27, 2009

Catatan Jepang (bagian 1)

Perjalanan ke jepang selama satu tahun kemarin memberikan banyak pelajaran dan pengalaman yang berharga untuk kehidupan saya pribadi. disana banyak hal saya alami. mulai dari yang sedih, senang, bahagia, lelah. semuanya ada deh. saya bisa mendapatkan kesempatan ke jepang karena perusahaan tempat saya bekerja memberikan kesempatan pada saya untuk mempelajari lebih banyak lagi soal program yang menjadi makanan saya di tempat bekerja. namun dalam jangka waktu yang lumayan itu, banyak hal lain yang saya dapatkan. pertemanan, persahabatan, dengan teman-teman saya yang bersala dari indonesia, juga teman-teman jepang saya yang selalu menemani saya selama di sana. ya. sahabat sekaligus kakak saya obata-san dan koike-san dia tidak hanya menjadi seorang partner kerja buat saya, tapi kita bisa berbagi bersama dalam suka dan duka. banyak hal yang kita alami bersama di sana.

awalnya sih saya merasa kesepian dan membosankan ditengah orang-orang asing yang kita tahu pola hidupnya, budaya serta kebiasaan adat-istiadatnya berbeda dengan budaya di Indonesia. namun demikian, seiring waktu saya tidak merasakan hal itu di bulan ketiga saya di jepang. banyak lho kejadian-kejadian lucu dan memalukan yang saya alami di jepang. contohnya, seperti kita ketahui, di jepang itu serba otomatis, dan praktis. tidak seperti di indonesia, kalo mau beli minuman di jalan tinggal dateng ke warung rokok terdekat, tapi dijepang semua itu gak bakalan kita temuin, soalnya semua itu ada di dalam suatu box yang namanya jidouhanbaiki atau mesin penjual otomatis. awalnya waduh bingung, gimana cara gunain mesin ini... untunglah ada teman yang mengajari cara menggunakan mesin itu. hehehe.. maklum di Indonesia itu semua belum ada. kalo pun ada, ehmm... aman gak yah... :)

budaya dan masyarakat Jepang dewasa ini sudah mulai berubah. tidak seperti budaya dan masyarakat Jepang yang saya pelajari dan ketahui semasa bangku kuliah dulu. masyarakat Jepang di kota-kota besar seperti di tokyo dan sekitarnya, sekarang itu memang sudah terpengaruh budaya modern, dan bisa dibilang individualis masyarakatnya semakin terlihat. adab budaya kaum mudanya pun sedikit-demi sedikit sudah mulai berubah. wah pokoknya kaget juga sih kok beda yach. tapi itulah Jepang, negara yang maju dan cara berpikir masyarakatnya.

budaya lain yang membuat saya agak kaget awalnya juga adalah budaya kerja di sana. ditempat perusahaan saya bekerja, setiap pagi mereka melakukan senam pagi Taisho dalam bahasa jepangnyaatau bisa juga di sebut apel juga kale yah... semua sudah berkumpul di lapangan 5 menit sebelum senam di mulai, gak ada tuh yang namanya terlambat. sebab orang jepang itu sangat disiplin dan menghargai sekali waktu yang ada. ini yang seharusnya patut di contoh sama bangsa kita yah gak....

orang Jepang berusaha bekerja sekeras mungkin, mengapa? menurut pengamatan saya selama di sana, mereka sangat menjunjung tinggi rasa tanggung jawab yang diberikan kepada diri mereka. sehingga mereka berkerja dengan serius, dan semangat. makanya awalnya saya kaget lho. di sini kita kalo bekerja dengan baik ada yang benar-benar bekerja tapi ada juga yang baru bekerja dengan baik kalo di liat oleh atasan. di sana sih, kayaknya gak ada tuh.. hehehe.. di sana orang jepang bekerja gak ada yang seperti di Indonesia, bekerja sambil ngobrol. atau ngerumpi buat yang cewek... atau chatting by yahoo atau facebook. salut sama mereka, makanya mereka bisa maju yah.. kapan nih bangsa kita seperti mereka.

(bersambung- Catatan Jepang bagian 2)


HORENSO dalam budaya Jepang

Salah satu perbedaan yang saya rasakan antara kebiasaan orang Indonesia dan Jepang mengenai cara kerja di kantor adalah, orang Indonesia lebih cenderung mengerjakan sesuatu dengan pikiran sendiri, dan kalau orang Jepang lebih cenderung mengikuti peraturan yang telah ada. Mungkin orang Jepang takut disalahkan dengan mengerjakan sendiri, sedangkan orang Indonesia mungkin perasaan tidak mau tergantung (dijajah) orang lain itu lebih kuat.

Salah satu perbedaan yang saya rasakan antara kebiasaan orang Indonesia dan Jepang mengenai cara kerja di kantor adalah, orang Indonesia lebih cenderung mengerjakan sesuatu dengan pikiran sendiri, dan kalau orang Jepang lebih cenderung mengikuti peraturan yang telah ada. Mungkin orang Jepang takut disalahkan dengan mengerjakan sendiri, sedangkan orang Indonesia mungkin perasaan tidak mau tergantung (dijajah) orang lain itu lebih kuat.

Tetapi kerja di kantor bagaimana pun harus memikirkan efisiensi dan kepastian. Peraturan atau kebiasaan di kantor, biasanya berdasarkan pengalaman-pengalaman seniornya, dalam pikiran bagaimana lebih efisien dan lebih pasti. Maka menurut saya lebih bagus mengikuti peraturan yang telah ada. Namun di lain pihak, perlu dipikirkan belum tentu peraturan yang ada sekarang sudah sempurna. Kalau ada ide yang lebih bagus, kapan pun bisa dirubah. Dan sementara itu yang penting adalah diskusi dengan orang lain dan mencapai kesepakatan. Baru kemudian mengganti peraturan, dan mengikuti peraturan yang baru itu.

Kalau mau mementingkan kekhususan sendiri saja, lebih bagus kerja dengan sendiri, bukan di perusahaan. Akan tetapi kemampuan seorang manusia sangat terbatas. Jika ingin mengerjakan hal yang lebih besar, lebih bagus kerja sama dengan banyak orang. Bagaimana menurut anda?

Kalimat-kalimat diatas, termasuk judulnya, saya ambil sama persis dari sebuah majalah on-line Komunikasi IJ. IJ adalah singkatan dari Indonesia – Jepang. Tujuan dibentuknya majalah itu sebagai salah satu media untuk menjembatani budaya Jepang dan Indonesia. Tulisan-tulisan dalam majalah itu lebih banyak dibuat oleh seorang Jepang yang sudah sekitar 20 tahun tinggal di Indonesia. Beliau adalah konsultan pada sebuah lembaga training di Indonesia. Beliau tidak hanya tinggal dan bekerja di Indonesia, tetapi juga sudah berkeluarga dengan istri seorang Indonesia tulen, tepatnya dari pulau Jawa. Makanya selalu ada pepatah Jawa yang diterjemahkan ke bahasa jepang dalam e-magazine ini. Bahkan beliau sudah berani menyetir mobil sendiri kemana-mana. Sesuatu yang sangat jarang saya dapati pada orang Jepang.Saya ambil artikel singkat ini dari majalah beliau karena saya terusik dengan isinya. Orang Indonesia lebih banyak bekerja sesuai aturannya sendiri, sementara orang Jepang cenderung mengikuti peraturan yang berlaku. Betulkah? Apakah ini hasil investigasi mendalam atau lebih kepada pembicaraan umum yang bisa terjadi dimana dan kapan saja? Saya tidak tahu karena saya tidak punya kesempatan untuk bertemu lagi dengan penulis.

Kalau kita bicara sistem, tepatnya quality management system, sudah pasti ada yang namanya prosedur atau SOP. Prosedur dibuat karena ada manual atau guideline yang harus diikuti. Kemudian prosedur diimplementasikan dalam pekerjaan sehari-hari. Secara berkala implementasi ini diaudit baik oleh internal maupun oleh badan sertifikasi. Semua hal yang tidak sesuai dengan guideline dan prosedur akan menjadi sebuah temuan yang harus ditindaklanjuti sampai tuntas. Bila tidak, dapat dipastikan sertifikat quality management system tidak akan diterbitkan.

Nah, pelaksana prosedur-prosedur ini dapat dipastikan sebagian besar adalah orang Indonesia. Dan ada juga peran Japanese yang notabene menduduki posisi cukup tinggi dalam perusahaan Jepang di Indonesia. Artinya baik orang Indonesia maupun Jepang dituntut untuk mematuhi prosedur yang ada jika ingin perusahaannya mendapat sertifikat quality system. Jadi dimana letak ketidakpatuhan yang dimaksud Nobuki Oku san yang menulis artikel diatas?

Saya khawatir yang dimaksud adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak tercakup dalam prosedur quality system. Proyek-proyek baru yang belum ada prosedurnya. Pekerjaan yang sifatnya insidentil atau tambal sulam akibat proses yang diluar prosedur. Atau pekerjaan yang seharusnya didiskusikan dulu dengan atasan tetapi diputuskan sendiri karena mendesaknya waktu. Kalau sudah begini, akan sulit memutuskan mana lebih dulu, telur atau ayam? Anda Indonesia atau Anda Jepang?

Apapun itu, dasar dari semua ini adalah komunikasi. Dengan komunikasi yang baik, tidak hanya antara atasan bawahan, tetapi juga antara orang Indonesia dan orang Jepang, kemungkinan besar semua masalah akan lebih mudah untuk dipikirkan penyelesaiannya. Termasuk bila prosedur terkait belum ada. Ini yang disebut HORENSO dalam bahasa Jepang (baca tentang Horenso disini). Pelaporan, informasi dan konsultasi atau sistem komunikasi antar manusia. Ini yang sulit dilakukan oleh orang Indonesia karena merasa apa yang diinginkan oleh Jepang terlalu detail, berulang-ulang dan tidak output oriented. Ini juga yang sulit dimengerti orang Jepang karena merasa orang Indonesia tidak mengerti bahwa process oriented lebih penting daripada output oriented. Output bisa salah karena proses yang salah. Output bisa menyimpang, tetapi asalkan proses sudah benar, kemungkinan besar lain kali kita bisa menghasilkan output sesuai target. Ini yang ada di pikiran orang Jepang kebanyakan.

Jadi, jangan tersinggung bila kita orang Indonesia dikatakan tidak mau ikut aturan. Ini semua karena perbedaan komunikasi dan sudut pandang. Perbedaan itu asyik juga lho! Coba bayangkan seandainya semua wanita berbentuk sama, pasti bosan kan ? Masih untung kalau sama dengan Tamara Bleszinki atau Dian Sastro. Kalau dengan Nyonya Meneer bagaimana? Hiks.. Jawa banget deh….!!

Referensi : Majalah Komunikasi IJ edisi Januari 2009.

bentou Jepang yang lucu dan cantik and so pasti enak rasanya

makanan di jepang bisa dikatakan mahal lho untuk ukuran orng kita. gak heran kalo dari anak sekolah, pegawai, sampai bos-bosnya pun sering bawa bekal makan siang disebut bento dalam bahasa Jepang. Masih ada embel-embelnya, bukan cuma bento tapi harus kawai bento, artinya bento yang cantik. Ya begitulah karakter budaya Jepang, semuanya harus detil dan perfect. Begitu juga dengan bekal makan siang, tidak sembarangan nasi bungkus ala Indonesia, tapi harus juga enak dipandang, selain enak dimakan.ini salah satu contoh bento yang lucu dan cantik itu.






Hebatnya semua pernak-pernik untuk kawai bento ini tersedia luas di toko-toko, dari mulai pemisah plastik bermotif bus dan kereta, kemudian ember kecil untuk tempat sayuran basah, atau salad, juga tusuk buah kecil yang bermotif binatang, cocok sekali dengan karakter anak-anak. Saya jadi teringat ketika kecil dulu, tidak pernah bawa bekal dari rumah, jadi andalan semua anak-anak Indonesia adalah jajanan di pinggir sekolah atau di depan sekolah. Ada yang jual cireng, pisang goreng, es mambo, nasi uduk sampe sosis goreng. Berikut adalah foto yang mengingatkan kita semua tentang jajanan di sekitar sekolah kita dulu. Berbeda dengan bento, tentu jajanan anak-anak seperti ini tidak higienis, murah sekali, dan selain itu minimal sekali nilai gizinya. Seperti misalnya cireng, kependekan dari aci goreng, enak di lidah, populer di kalangan anak-anak, tapi apakah ada nilai gizi untuk aci (salah satu bahan untuk lem) yang digoreng ? Pemerintah kita pun tidak terpikir untuk menertibkan jajanan rakyat seperti ini. Padahal mayoritas anak-anak di seantero nusantara menjadikan jajanan ini sebagai sumber makanan utama kedua setelah di rumah. Menyedihkan memang .. !


Selain bento made in sendiri, ada banyak perusahaan katering yang menjual bento set, ditatanya pun sangat rapi, dalam kotak plastik tembus pandang, sehingga terlihat semua, pokoknya beda sekali dengan nasi bungkus ala Indonesia. Bento set dijual di supermarket dan counter-counter makanan di kampus, di pusat perkantoran, menjadikan bento sebagai salah satu gaya hidup masyarakat Jepang. Isinya beragam dari mulai sushi, ikan tempura, daging ayam, sapi sampai daging babi pun ada, dan tentu saja dengan side dishes sayuran salad dan lainnya. Komposisi makanan ini tertulis jelas hingga komposisi kalori. Jadi tidak boleh ada penipuan kepada konsumen, rasanya mungkin ini salah satu undang-undang di Jepang, bahwa semua makanan harus diberi label dan komposisi yang jelas. Soal harga ? sama sekali tidak mahal, rata-rata JPY 300 - 500. Dibanding dengan penghasilan pekerja rata-rata disini, tentu sangat-sangat murah sekali.

Thursday, June 25, 2009

Berlandaskan Tradisi, Raih Modernisasi

KALAU di banyak negara tradisi merupakan hambatan kemajuan, atau persisnya hambatan modernisasi, maka tidak begitu dengan Jepang. Negeri Sakura ini justru dengan modal tradisi mampu masuk era persaingan global yang penuh nuansa modernisasi-kapitalistik. Maka, sangat masuk akal kalau Robert N Bellah pun menyatakan bahwa bukan protestanisme saja yang mampu membangkitkan semangat kapitalistik suatu bangsa. Pendapat Bellah itu sebagai antitesis Max Weber yang sebelumnya berpendapat bahwa kapitalisme muncul dari etika protestan.
Masyarakat Jepang membuktikan, tradisi justru bisa dijadikan landasan kokoh bagi pengembangan modernisasi, bahkan kapitalisasi. Kenyataan bahwa masyarakat Negeri Sakura ini mampu menjadi kekuatan industri yang maju, menggambarkan kehebatan kearifan-kearifan lokal (local wisdom) mengatasi arus globalisasi yang sangat Barat (western). Kearifan lokal itu tidak terkalahkan oleh penetrasi nilai-nilai Barat, sebaliknya menjadi kekuatan transformatif yang dahsyat.
Tradisi justru menjadi fasilitator kemajuan. Dengan tradisi, mereka mencapai Jepang yang modern seperti dicita-citakan oleh para samurai. Mereka memersepsi dan menerapkan tradisi tidak secara kaku, sehingga jangan heran kalau Anda pergi ke sana melihat anak-anak muda berdandan seperti layaknya anak-anak muda di New York, London, atau Paris. Pakaiannya trendi, rambutnya dicat merah, dengan gestur yang modernis.
Tapi, juga jangan heran, kalau di jalan-jalan Anda masih bisa melihat satu-dua orang yang mengenakan kimono. Itulah potret perpaduan antara niat untuk maju mencapai prestasi (need of achievement) dan spirit mempertahankan budaya lokal. Saya membayangkan, di benak mereka terpikir semangat ''saya modis, bahkan kapitalistik, tetapi saya adalah orang Jepang!''
Tidak Beragama?
Sikap dalam keberagamaan pun tidak jauh berbeda. Mungkin di antara mereka penganut Shinto, Buddha, Islam, atau Kristen, namun tradisi merupakan hal yang mereka pegang teguh. Walaupun Shinto, Buddha, Islam, atau Kristen, tetapi mereka tetap memegang tradisi sebagai landasan hidup.
''Orang Jepang itu sepertinya tidak beragama, Mas. Saya tidak pernah melihat mereka sembahyang, berdoa, atau melakukan ritual keagamaan. Apalagi anak-anak mudanya. Kalau yang tua-tua sih mungkin ada,'' kata seorang pekerja magang (kenshuusei) kepada saya. Pernah ada survei yang menyebutkan, di Jepang hanya satu di antara empat orang, yang percaya agama.
Jepang adalah contoh negara yang memisahkan antara agama dan budaya. Bagi mereka, agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Itulah sebabnya, dalam bisnis pun mereka tidak pernah membawa-bawa nama agama, tapi melandasinya dengan tradisi yang kuat. Contoh konkretnya adalah menjunjung tinggi kepercayaan (trust), disiplin, dan orientasi kualitas, yang ditopang oleh spirit kerja keras (bushido) dan semangat harga diri (samurai) seperti yang saya singgung dalam seri ke-2 laporan ini. Begitu pula budaya malu, sehingga tidak jarang mendorong seorang pejabat melakukan harakiri (bunuh diri) ketika terungkap melakukan korupsi.
Saya kira, ketertiban dan kebersihan dalam penataan kota pun dipengaruhi oleh budaya malu itu. Malu kalau membuang sampah sembarangan, malu kalau berbuat tidak terpuji, malu kalau tidak menghasilkan prestasi, dan seterusnya.
Silakan pembaca membandingkannya dengan keadaan kita di Indonesia. Masih adakah budaya malu di antara kita? Masih adakah orientasi kualitas yang melekat dalam pikiran kita? Bukankah kita sering berbuat kebalikannya; melanggengkan kekuasaan meskipun korup, melakukan distorsi kualitas demi kepentingan pribadi (vested interest)?
Ah, tapi sungguh saya tidak bermaksud melecehkan bangsa sendiri, karena sebenarnya bangsa kita memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang lebih hebat dari Jepang. Hanya saja, kita belum piawai mengelolanya dengan baik, belum pintar mengembangkannya menjadi kekuatan manifes sebagai keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Sayang memang!
Perpaduan antara tradisi dan spirit kapitalistis itu misalnya saya rasakan pada jamuan-jamuan makan dengan para pengusaha. Hampir semua jamuan itu diselenggarakan secara tradisional, dengan setting tatami (mungkin bisa diistilahkan sebagai lesehan), minum teh hijau (ocha), sake, makan ikan-ikan mentah (shusi), dan makanan tradisional lainnya. Pokoknya Jepang banget!
Makanan-makanan ala Amerika memang ada, seperti McDonald dan Kentucky Fried Chicken, tetapi dominasi tetap ada pada makanan-makanan tradisional. Apresiasi terhadap tradisi yang sangat kuat itulah yang nampaknya membuat Jepang hebat. Jadi, tidak perlu heran kalau makanan-makanan tradisional mereka pun go international. Restoran Jepang ada di mana-mana, makanan Jepang masuk di berbagai negara di dunia.
Suami Dijatah
Jepang memang berhasil memanfaatkan tradisi menuju modernisasi. Tapi tidaklah benar kalau dikatakan tidak ada pengikisan budaya lokal itu oleh globalisasi. Kesan ini misalnya saya peroleh dari beberapa informasi tentang peran perempuan (atau tepatnya istri) dalam rumah tangga.
Maaf kalau sekali lagi saya menyebut nama Nurudin; seorang pekerja di Kyoto asal Klaten yang menikahi perempuan Jepang. Dia adalah contoh pelaku yang merasakan perubahan nilai-nilai tradisi Jepang.
''Perempuan Jepang sekarang, tidak sama dengan perempuan Jepang generasi-generasi dulu. Kalau dulu mereka dikenal sebagai istri yang mengabdi penuh kepada suami, sekarang tidak persis seperti itu,'' katanya.
Istri-istri dari generasi masa kini tidak lagi melepaskan sepatu suami yang baru pulang dari kantor seperti istri-istri Jepang masa lalu. ''Tapi kalau gaji suami tetap sama dengan masa lalu, tetap ditransfer ke rekening istri. Suami hanya dijatah tiap bulannya,'' kata Nurudin yang sudah dikaruniai dua anak itu.
''Tapi sampeyan kan bisa cari duit lanang ta?íí tanya saya.
''Bisa mas. Maka, sepulang kerja saya memasok bahan-bahan makanan Indonesia untuk orang-orang Indonesia yang tinggal di sini,'' lanjutnya. Dari usaha sambilan itu, setidaknya ia bisa mengumpulkan uang sekitar 100.000 yen tiap bulan (sekitar Rp 800.000).
''Istri tahu tentang duit lanang itu?íí tanya saya lagi.
''Tahu, tapi tidak apa-apa, karena di sini itu biasa. Pokoknya, uang gajian suami itu memang menjadi hak istri, untuk keperluan anak-anak dan kebutuhan keluarga. Suami mendapat jatah dari istri. Nah, kalau ingin pemasukan tambahan ya harus cari sambilan,'' katanya.
Relasi suami-istri model Jepang seperti itulah yang kemudian sering memunculkan gurauan tentang suami Jepang: ''di rumah seperti kelinci, di luar rumah seperti macan''. Mengapa? Karena dijatah oleh istri. Makino, seorang pengusaha besar di Kosai pun mengiyakan gurauan tersebut.
Beberapa orang yang saya temui menjelaskan, filosofi ''jatah-menjatah'' itu berasal dari tradisi bahwa tugas suami memang mencari uang untuk menafkahi anak-istri. Adapun tugas istri adalah berbakti, mengabdi kepada suami. Jadi, semacam keseimbangan; prinsip timbal-balik.
Repotnya, tidak jarang yang sekarang adalah: gaji suami tetap ditransfer ke rekening istri, tapi tugas mengabdi belum tentu berjalan sesuai harapan. Timbul ketidakseimbangan. Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup yang makin materialistis dan pragmatis. Lagi-lagi, inilah pengaruh globalisasi yang kapitalistik.
Perubahan nilai-nilai tradisi itu juga diakui pula oleh Ny Ita, perempuan Indonesia yang menikah dengan lelaki Jepang dan sekarang menetap di Tokyo. Dia adalah pemandu kami dalam kunjungan delegasi Kadin Jateng. ''Memang ada pergeseran nilai-nilai seperti itu. Ibu mertua saya misalnya, sampai sekarang masih menerapkan prinsip-prinsip pengabdian seorang istri kepada suami. Dia masih melepaskan sepatu suaminya. Tetapi, saudara ipar saya yang berusia lebih muda tidak lagi seperti itu,'' katanya.
Kenyataan itulah yang nampaknya mengubah pemeo zaman dulu, yaitu: ''kalau ingin bahagia, menikahlah dengan perempuan Jepang, makanlah masakan China, dan tinggal di Amerika''. Maknanya, perempuan Jepang itu kalau menjadi istri akan mengabdi penuh (ngabekti) sehingga suami bahagia; masakah China itu lezat, dan Amerika itu paling nyaman sebagai tempat tinggal karena demokratis.
Terlepas dari tradisi yang kuat, toh masyarakat Jepang tetap saja ''terseret'' arus global. Hanya saja, ''keterseretan'' itu tidak separah dibandingkan masyarakat-masyarakat lain di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka masih mampu memanfaatkan nilai-nilai lokal (local genius) sebagai landasan untuk maju. Dalam konteks pemikiran John Naisbitt (dalam Global Paradox) inilah yang disebut think globally, act locally; berpikir global, bertindak lokal.
(dikutip dari: Harian Suara Merdeka)