Saturday, July 11, 2009

Hyaku-En Shop Murah, Bukan Murahan

Siapa bilang teori ekonomi hanya berlaku di kalangan produsen saja? Konsumen juga mengikuti prinsip tersebut sekarang. Dengan sedikit uang, wajib memperoleh barang bagus! Hal ini tampak jelas terlihat pada masyarakat Jepang dengan konsep hyaku-en shop (100 yen shop). Toko ini menjadi solusi yang tepat bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Konsep ini mengalami puncak keemasannya di Jepang sekitar tahun 2001. Mereka yang tadinya malas berbelanja, akhirnya tertarik mem-beli aneka barang murah di berbagai 100 yen shop.

Konsep serupa sebenarnya juga pernah diadaptasi di Indonesia. Salah satu pemain lokalnya adalah Valu$ yang menyediakan berbagai varian item produk dengan harga mulai dari Rp 5,000. Kendati masih tetap eksis hingga saat ini, namun gaungnya sudah tidak seberapa terdengar lagi. Tapi tidak dengan negara Jepang. Hingga kini masyarakatnya masih banyak yang memilih hyaku-en shop sebagai tempat berbelanja barang-barang kebutuhan rumah tangga. Yang menjadi tanda tanya adalah, bagai-mana hyaku-en shop Jepang bisa tetap eksis sementara konsep yang sama di Indonesia mulai ditinggalkan?

Konsep hyaku-en shop (100 yen shop) lahir akibat sulitnya kondisi perekonomian yang sempat menimpa penduduk Negeri Mata-hari Terbit itu di tahun 1980-an. Pada masa itu, uang 100 yen tidak lagi dapat membeli apa yang seharusnya dapat dibeli. Supermarket dan departement stores yang biasa menjadi tempat belanja orang-orang kaya mengalami masa sulit. Seibu, pemain utama di bisnis ini, terpaksa menutup beberapa gerainya, juga Daiei, salah satu outlet yang sebelumnya populer karena kualitas barang yang baik dan harganya yang rasi-onal. Kelesuan perekonomian dan rendahya daya beli menjadi isu utama pada masa itu.

Situasi inilah yang mendorong satu sisi dunia perdagangan berdiri, hyaku-en shop (100 yen shop), sekaligus penyeimbang Jepang atas perdagangan dolar. Bahkan lima perusahaan terbesar hyaku-en shop penghasilan kotornya mencapai 500 milyar yen ($50 juta) dengan tingkat kenaikankeuntungan mencapai 22% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pada awal kemunculannya, pers setempat sempat memiliki pandangan negatif dan menggambarkan hyaku-en shop sebagai bisnis musiman yang tidak memiliki aspek-aspek yang bagus, hanya ‘memulung’ ba-rang-barang dari berbagai perusahaan yang bangkrut. Namun, lama-kelamaan mereka menadi lebih bersahabat, dan sekarang tidak ada lagi yang merasa bersalah mengenai asal-usul pembelian barang-barang yang dijual di hyaku-en shop. Toh bagaimanapun juga, bagi sebagian besar pembeli, pendorong utama mereka membeli sangatlah jelas, adalah keloyalan mereka pada merk tertentu.

Pada awal masa booming hyaku-en shop, gerainya rata-rata berlokasi di daerah yang padat lalu-lalang, dekat dengan stasiun atau di daerah pedagang kaki lima, tapi kemudian bermunculan dengan cepat di daerah perkotaan dan sepanjang jalan-jalan raya yang sibuk, dan tak pernah ketinggalan juga di arena pachinko yang selalu ramai pengunjung. Beberapa hyaku-en shop bahkan tidak hanya bertindak sebagai retailer, namun juga telah memiliki merk sendiri atas beberapa barang dan juga menjadi supplier bagi jaringan hyaku-en shop lainnya, termasuk di luar Jepang. Perkembangan yang sedemikian pesatnya bahkan telah membuat Seira, sebuah hyaku-en shop terkemuka yang bermarkas di Gaki, daerah Gifu, terdaftar di JASDAQ dan memiliki 2,400 gerai.

Pada tahap selanjutnya, walaupun keadaan ekonomi telah jauh lebih baik, penduduk Jepang masih terbiasa untuk berbelanja di hyaku-en shop. Bahkan belakangan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan para penduduk lokal, hyaku-en shop juga menarik minat para turis dan para mahasiswa asing yang melanjutkan studinya di Jepang. Hanya dengan 105 yen (5 yen-nya untuk pajak), mereka sudah bisa mendapatkan berbagai barang dan peralatan yang mereka butuhkan selama menjalani masa studi, semua-nya tersedia.

Terkadang, penataan produk yang menarik di hyaku-en shop dapat membuat pembeli merasa heran dan bertanya-tanya, kenapa department store memasang tarif begitu mahal untuk barang yang sama? Mereka menyediakan berbagai macam mulai dari pakaian dalam, lipstik, hingga kabel USB, sikat gigi elektrik, pemukul ping-pong, pedometers, ember plastik, nampan, gelas, piring, cangkir, peralatan sehari-hari di dapur, handuk dan deterjen (yang paling laku), juga snack (seperti permen, minuman kaleng, mie) dan masih banyak lagi.

Ekspansi terbesar dalam sejarah perkembangan hyaku-en shop dewasa ini dilakukan oleh Daiso dengan membuka 2000 toko ke seluruh penjuru Jepang dengan otoritas penuh. Yang terbesar adalah Daiso Giga Machida, bangunan lima lantai ini berada di depan stasiun Machida.

Selain 100-yen shop saat ini ada pula 3 coins shop dan shop 99+. Konsepnya sama dengan hyaku-en shop, hanya shop 99+ tidak menjual barang-barang keperluan rumah tangga, melainkan aneka snack dengan harga murah. Kendati namanya berbeda-beda, namun mereka ditarik oleh benang merah yang sama, yaitu menjual berbagai barang kebutuhan dengan harga yang terjangkau. Pada intinya, hyaku-en shop melakukan pembelian produk mereka dalam jumlah yang sangat besar dengan potongan harga yang besar pula dari negara-negara dengan tingkat produksi dan biaya tenaga kerja yang murah.

Tapi sekali lagi mengapa konsep murah ini kurang populer lagi di Indonesia? Satu hal yang pasti, kualitas tanpa kompromi. Pada negara berkembang seperti Indonesia, kualitas merupakan hal yang urutannya di bawah harga. Karenanya, muncul image buruk terhadap ‘toko lima ribu’ di Indonesia. Berbeda dengan hyaku-en shop di Jepang, kualitas menjadi prioritas utama. Terlebih harganya juga sangat terjangkau. Karena itu jumlah hyaku-en shop yang tersebar di Jepang saat ini sudah mencapai puluhan ribu gerai, yang tersebar di ber-bagai pusat perbelanjaan, stasiun, hingga kawasan permukiman.

No comments:

Post a Comment