Thursday, August 13, 2009

Khasiat Teh Hijau Jepang

Minum teh hijau bagi orang Asia sudah bukan hal asing lagi, khususnya di Jepang, Korea, dan Cina. Bagi kaum lanjut usia di Jepang, minum teh hijau bahkan mereka lakoni setiap hari. Sebuah penelitian epidemiologi di Jepang menyatakan bahwa orang yang minum teh hijau secara rutin, terhindar dari resiko terserang penyakit, terutama kanker. Teh hijau mengandung zat kolektif disebut polyphenois yang memiliki efek anti oksidan penghancur sel-sel kanker.

Pada tahun 1989, Japanese Journal of Nutrition melaporkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah-daerah Jepang yang memproduksi dan mengkonsumsi berbagai bentuk teh hijau seperti permen karet, es krim, dan kue-kue memiliki daya tahan tinggi terhadap kanker perut dibanding penduduk daerah lainnya. Sementara Journal Cancer Research pada tahun 1994 menyatakan teh hijau memiliki zat yang berfungsi melindungi tubuh dari sel-sel penyebab kanker. Sang peneliti juga menyebutkan bahwa para perokok di Jepang yang sehari-harinya mengkonsumsi teh hijau, resiko terkena kanker paru-parunya jauh lebih kecil dibanding para perokok warga Amerika Serikat yang tidak mengkonsumsi teh hijau sebanyak warga Jepang.

Journal of the National Cancer Institute menurunkan laporan studi yang dilakukan oleh Shanghai Cancer Institute pada tahun 1994, laporan tersebut mengungkapkan bahwa peminum teh hijau memiliki pengurangan resiko terhadap kanker esophagus atau kerongkongan hingga 50 persen. Lalu Journal Cancer Causes Control pada tahun 1995 merilis laporan, minum teh hijau secara teratur dapat mencegah resiko kanker perut terhadap siapapun tidak memandang latar belakang kesehatan maupun umur.

Sementara penelitian yang dilakukan kepada penduduk Shanghai pada tahun 1997, mengemukakan teh hijau dapat mengurangi resiko terhadap penyakit kanker pankreas, dan rektum. Pernyataan ini dilaporkan melalui International Journal of Cancer Pada tahun 2004, Jurnal tersebut juga memaparkan hasil sebuah studi terhadap penduduk di Cina bagian Tenggara, studi tersebut menyebutkan adanya pengurangan resiko kanker prostat bagi mereka yang mengkonsumsi teh hijau secara rutin.

Di Iowa, Amerika Serikat, The Iowa Women’s Health Study meneliti sekitar 34,651 wanita menopouse selama 12 tahun dan menyimpulkan bahwa teh hijau dapat mengurangi resiko kanker rektal. Sementara di Los Angeles, hasil penelitian menyebutkan, wanita Asia peminum teh hijau memiliki resiko yang rendah terhadap kanker payudara. Tak ketinggalan, studi meta-analisis yang dilaporkan Journal Integrative Cancer Therapies di bulan Juni tahun 2005 menyatakan bahwa terdapat bukti epidemiologi terhadap hubungan teh hijau dengan kanker payudara—yaitu mengkonsumsi lima cangkir teh hijau atau lebih dalam sehari dapat mencegah kanker payudara. Bukti lainnya juga mengindikasikan bahwa mengkonsumsi teh hijau bisa mencegah timbulnya stadium 1 dan stadium 2 terhadap penderita kanker payudara.
Cara MengkonsumsiRiset menyarankan bahwa cara mengkonsumsi teh hijau yang baik dan sehat adalah dengan menyeduh daun teh hijau yang masih segar, dan diamkan selama 5 menit sebelum diminum.

Seberapa Banyak?Badan-badan penelitian dan klinik-klinik kesehatan menyarankan untuk mengkonsumsi sekitar 3 sampai 5 cangkir teh hijau dalam sehari untuk memperoleh efek maksimum. Selain diminum, disarankan juga menambahkan daun teh hijau di dalam sayuran untuk dimakan.
Untuk Siapa ?Teh hijau mengandung kafein. Walaupun kandungannya lebih sedikit dibanding kopi atau teh hitam, sekitar seperempatnya. Namun patut diingat bahwa konsumsi kafein berlebihan melalui teh hijau juga tidak baik. Oleh sebab itu, bagi penderita penyakit ginjal, hati, ulu hati, atau sering gelisah, sebaiknya hindari minum teh hijau. Begitu juga dengan wanita hamil dan menyusui, lebih baik tidak minum teh hijau. Kafein terbukti memiliki kontraindikasi dengan berbagai macam obat-obat preskripsi termasuk obat untuk darah tinggi, jantung, depresi, sedative, dan oral kontraseptif. Dalam dosis yang besar, teh hijau terbukti memiliki zat yang dapat memicu penggumpalan darah seperti terdapat dalam obat aspirin dan warfarin. Bagi Anda yang tengah mengkonsumsi obat atau terapi pengobatan diatas, sebaiknya konsultasi dahulu dengan dokter Anda sebelum mengkonsumsi teh hijau.

Sumber: The American Institute for Cancer Research (AICR)

deepato-di Jepang

Bersatunya Departement store dijepang yang disebut hyakaten atau disingkat menjadi depaato) yang cukup besar di Jepang yaitu Daimaru, peringkat ke-4 dalam omset penjualan dan Matsuzakaya peringkat ke-8 dalam omset penjualan. Daimaru berpusat di Osaka (meski lahir di Kyoto) sedang Matsuzakaya berpusat di Nagoya. Keduanya mempunyai cabang beberapa di luar wilayah berkembangnya. Misalnya Daimaru mempunyai 16 buah cabang dan bisa ditemui sampai Kota Sapporo di utara Jepang. Tapi di Kansai sendiri keberadaan Daimaru mendapat tantangan berat dari Hankyuu. Sedang Matsuzakaya mempunyai 9 cabang dan tetap mendominasi di daerah asalnya, Nagoya. Merjer ini menyusul merjer Seibu dan Sogo yang telah terlebih dahulu menyatu membentuk Millenium Retailing(peringkat ke-2 dalam omset penjualan).
Jika berbicara depaato di Jepang, terus terang yang agak membuat spesifik dari depaato2 di luar lainnya adalah depachika-nya (tempat penjualan di lantai lantai bawah/basement). Pengalaman mengamati depaato2 Eropa pun depachika mereka tak spesifik betul dijejali oleh makanan dan masakan yang begitu sedap dipandang dan begitu menggoda, seperti di Jepang. Di depachika pula beragam jenis makanan tradisional Jepang secara umum bisa diketahui, apalagi meibutsu atau makanan2 khas daerah setempat selalu mendapat tempat. Lokasi depaato yang strategis (pusat kota dan dekat dengan persinggahan transportasi) sering membuat depachika sebagai tempat tujuan membeli oleh2 (omiyage). Meski begitu, menurut Asosiasi Depaato Jepang Nihon Hyakaten Kyoukai) barang yang paling banyak dibeli adalah pakaian, kedua adalah kosmetik dan barang2 kecantikan lainnya, dan ketiga baru alat2 rumah tangga.
Depaato di Jepang cikal bakalnya sudah cukup lama, misalnya saja Matsuzakaya dirintis sejak tahun 1611 (zaman Edo) atau Mitsukoshi yang dirintis tak lama setelah itu di tahun 1673, dan Daimaru sejak tahun 1717. Takashimaya yang menguasai tempat pertama bisnis depaato di Jepang dirintis sejak tahun 1831. Saat ini memiliki 20 cabang di seluruh negeri. Jadi berdasar catatan sejarah, depaato2 di Jepang pun telah berkembang lama, tak kalah dengan depaato2 lain di luar Jepang. Bahkan, saat ini depaato2 Jepang juga membuka cabang di beberapa negara lain, mulai di Asia sampai Eropa bahkan Amerika. Tapi herannya, depaato2 ini kok imejnya masih terlalu mahal ya, he… hingga untuk masuk pun kadang mikir beberapa kali.
Tapi ada yang menarik lagi, terutama dari catatan sejarahnya, depaato2 di Jepang dibentuk oleh 2 tipe perkembangan yang berbeda. Informasi ini diperoleh ketika pulang makan siang, dan di TV ada pembahasan mengenai tipe perkembangan depaato2 di Jepang ini. Depaato2 lama, macam Takashimaya, Mitsukoshi, Daimaru, dan Matsuzakaya itu terbentuk oleh sistem noren (noren-kei depaato). Noren sendiri adalah tirai pintu (semacam korden). Jadi pada awalnya depaato itu adalah sekumpulan warung2 yang berderet-deret dan dipisahkan/dibedakan dengan tirai2nya. Meskipun dalam satu manajemen, tapi pembedaan tempat penjualan sudah dispesifikasi sedemikian rupa. Menarik juga melihat perkembangan morfologi depaato ini sejak dari sistem noren yang membujur bak pasar tradisional sampai ke tipologi bangunan tunggal bertingkat banyak seperti yang umum terjadi saat ini (misal lantai 1 kosmetik, 2, 3 pakaian wanita, 4 perlengkapan anak, 5 pakaian pria, dst.). Tipe perkembangan yang kedua adalah depaato2 yang berkembang sejalan dengan perkembangan alat transportasi, terutama kereta api (baca Hankyu, Seibu, dan TOD). Ini disebut densha-kei depaato. Hankyuu, Seibu, Tokyuu, Kintetsu, dan lainnya adalah depaato2 yang berkembang dalam tipe ini. Pada umumnya perkembangannya baru dimulai awal tahun 1900-an, atau di saat menjelang berakhirnya Periode Meiji di Jepang.

Sunday, August 9, 2009

Mengenal lebih Dalam Konsep 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke)

Konsep 5S yang diterapkan di setiap aspek kehidupan Jepang termasuk di perusahaan jepang tempat saya bekerja, ternyata bukan sekedar slogan biasa, tapi ternyata memiliki arti atau makna yang sangat dalam.

Berikut ini adalah terjemahan bebas dari sebuah artikel manajemen yang dapat anda baca di : http://www.siliconfareast.com/5S.htm
Proses 5S atau sederhananya 5S adalah program terstruktur yang bertujuan untuk mencapai pengaturan secara menyeluruh, dimana kebersihan dapat terjaga dan adanya sebuah standarisasi di tempat kerja. Dengan asumsi bahwa tempat kerja yang baik akan menghasilkan pola operasional yang aman, efisien dan lebih produktif. Dan pada gilirannya hal ini akan menaikkan moral pegawai berupa naiknya kebanggaan terhadap pekerjaan dan tanggung jawab yang dipikulnya.
5S dikembangkan di Jepang, dan merupakan arti dari 5 kata-kata jepang yang berawalan huruf S: Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke.
Ada pula kata dalam bahasa Inggris yang diadopsi untuk tetap menjaga agar konsep ini dinamakan 5S, sehingga kelima kata itu diartikan menjadi: Sort, Set (in place), Shine, Standardize, and Sustain
Ahli bahasa protes, karena makna nya kurang mengena. Ya, terserahlah…
Berikut ini adalah Penjelasan Singkat tentang 5S.
Seiri / Tidiness / KerapihanSingkirkan seluruh sampah, dan material yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dari tempat kerja.
Singkirkan seluruh hal yang tidak dibutuhkan, tidak perlu dan tidak berhubungan dengan pekerjaan dari tempat kerja. Mereka harus tidak merasa bersalah / merasa sayang untuk menyingkirkan itu. Intinya setiap hal yang ada di tempat kerja adalah berhubungan dengan pekerjaan dan harus dalam jumlah yang seminimum mungkin.
Oleh karena itu sebagai konsekuensinya, tugas harus dipermudah, tempat harus lebih efektif, dan pembelian barang pun lebih selektif.
Seiton / Orderliness / KeteraturanAtur segalanya agar tepat pada tempatnya dengan tujuan agar mudah diambil dan menghemat tempat.
Jadi ini berkaitan dengan efisiensi. Termasuk dalam hal ini adalah apapun ditempatkan pada tempatnya, mudah dijangkau saat diperlukan, dan segera dikembalikan pada tempatnya saat telah digunakan. Pada saat semua orang yang membutuhkan dapat mengakses hal tadi dengan sesegera mungkin, maka para pegawai dapat lebih produktif.
Posisi yang tepat, peletakan, penyangga setiap item, alat maupun material harus dipilih dengan seksama dalam kaitannya dengan pekerjaan yang akan dilakukan dan siapa yang akan menggunakannya.Setiap item harus ditempatkan pada tempatnya agar aman, dan setiap lokasi diberi label agar mudah diidentifikasi tujuan penggunaannya.
Seiso / Cleanliness / KebersihanBersihkan tempat kerja, setiap orang harus mau jadi juru bersih.
Dengan moto: Setiap orang adalah juru bersih. Tempat kerja harus bersih dan bersinar. Proses ini harus dilakukan oleh seluruh pihak mulai dari operator hingga manajer. Idealnya setiap area kerja memiliki penanggung jawab terhadap kebersihan, dengan tetap menjadikan setiap pegawai sebagai peserta aktif terhadap kebersihan. Seluruh pegawai harus memandang tempat kerjanya dengan kaca mata seorang pengunjung, sehingga dapat dipastikan setiap yang melihat tempat kerja tadi akan mendapatkan impresi yang baik tentang tempat kerja tersebut.
Seiketsu / Standardization / StandarisasiBuat standar bagaimana cara menjaga kebersihan tersebut.
Artinya adalah pembersihan yang terstandar. Berupa penjelasan mengenai batas ukuran kebersihan dan bagaimana cara mempertahankannya. Sehingga dapat menjadi patokan bagi pegawai dan kadar kebersihan yang diinginkan. Setiap pegawai harus ‘berlatih’ hal ini dengan menjaga kebersihan dirinya. Ceuk aa Gym mah mulai dari diri sendiri.Pemanfaatan ukuran visual adalah hal yang paling penting dalam konsep ini. Kode warna dan tolok ukurnya digunakan untuk memudahkan identifikasi adanya anomoali dalam lingkungan kerja. Pegawai pun dilatih untuk mendeteksi setiap ketidak normalan dengan menggunakan panca indranya serta dilatih pula untuk mampu memperbaikinya sesegera mungkin.
Shitsuke / Discipline / DisiplinLakukan 5S setiap hari, jadikan jalan hidup. Maksudnya: ya berkomitmen lah. Selalu lakukan hal yang baik, dan tinggalkan kebiasaan buruk. Saat tahapan ini dicapai, maka setiap pegawai akan dengan sukarela mengevaluasi kebersihan dan kerapian setiap saat tanpa perlu diingatkan oleh pihak manajemen.

Menengok Jepang dalam Mengakhiri Penyiaran TV Analog-nya

Standard televisi (TV) Jepang, ISDBT (Integrated Service Digital Broadcasting System), memang merupakan satu-satunya standard di dunia yang cukup unik. Agak berbeda dengan standard Eropa, DVB-T, apalagi standard Amerika dengan single carriernya [1], ISDBT memiliki satu segmen (yang kemudian dikenal dengan one-seg) untuk penyiaran (broadcast) TV digital yang akan diterima secara bergerak (mobile).

Ketika penerimaan mobile (mobile reception) yang ada pada standard lainnya masih diragukan, ternyata one seg milik Jepang ini cukup mumpuni. One-seg telah terbukti “bisa diterima dengan baik” dan sekarang penerimanya (receiver), misalnya seperti pada mobile phone (HP), kamus saku elektronik dan alat navigasi, sudah diproduksi secara massal. Bagi yang bermukim di Jepang sudah bisa menikmatinya dalam HP keluaran 2006 akhir atau awal-awal 2007 ini.
Bagi Indonesia yang sedang dalam persiapan menuju era TV Digital, mungkin perlu menengok bagaimana Jepang mengkampanyekan TV digitalnya ke masyarakat dan bagaimana pula TV analognya akan diakhiri pada 2011 nanti. Setidaknya 5 tahun sebelum berakhir, minimal pemerintah sudah harus menyosialisasikan hal tersebut ke masyarakat.
TV Analog Jepang yang kira-kira sejak 50 tahun lalu disiarkan, kini secara resmi akan diakhiri pada 2011, tepatnya adalah pada 24 Juli 2011 nanti [2]. Kemudian diperkenalkanlah penyiaran TV Digital secara terestrial atau Chijou Dejitaru Terebi Housou. Karena orang Jepang suka menyingkat kata yang panjang, akhirnya TV Digital ini pun disingkat dan cukup menjadi “Chi-Deji” saja. Pada 2011 ini diperkirakan siaran TV digital sudah bisa diterima di seluruh bagian wilayah Jepang (tidak hanya terbatas pada kota-kota besar misalnya Tokyo, Osaka, Nagoya saja).
Gambar 1. Pada 24 Juli 2011 nanti penyiaran TV analog berakhir diganti dengan penyiaran TV Digital di seluruh wilayah Jepang (tidak hanya terbatas kota besar) (sumber: dpa.or.jp)
Jenis Penyiaran TV di Jepang
TV analog Jepang (terestrial) dimulai pada tahun 1953-an dengan TV hitam putih. Untuk Indonesia, pertelevisian baru dimulai sekitar tahun 1961 [3]. Kemudian mulai pada 1960-an, diperkenalkan TV warna. Bisa kita lihat di sini, 1 tahun setelah TV warna Jepang muncul, Indonesia baru memulai penyiaran TV yang tentunya masih dengan TV hitam putih.
Mulai tahun 2000-an muncul TV dengan kualitas gambar yang baik yaitu high vision digital television (HDTV), tapi masih dengan jenis penyiaran analog. Pada tahun 2000 ini pula muncul 3 jenis penyiaran baru selain penyiaran terestrial (chijou) di atas, yaitu penyiaran dengan menggunakan satelit atau broadcasting via satellite (BS). Ketiga jenis penyiaran via satelit itu adalah (1) BS Analog Broadcasting , (2) BS Analog High Vision Broadcasting dan (3) BS Digital Broadcasting.
Kemudian baru pada tahun 2003 Jepang mempromosikan penyiaran TV digitalnya secara terestrial, menyusul penyiaran TV digital via satelit yang sudah dilaunching sejak tahun 2000. Munculnya penyiaran secara terestrial ini tentunya mendapat sambutan sangat baik karena kualitas penyiaran digitalnya bisa diperoleh dengan bebas tanpa harus membayar (gratis) tidak seperti halnya jika berlangganan TV satelit.
Untuk siaran via satelit sendiri, BS Analog High Vision akan diakhiri tahun 2007 ini. Sedangkan BS analog biasa akan diakhiri bersamaan dengan diakhirinya penyiaran analog terestrial pada 24 Juli 2011 nanti. Khusus untuk BS digital, siaran ini tidak akan dihentikan pada 2011, melainkan akan dipakai terus bersamaan dengan penyiaran TV digital terestrial chi-deji. Gambar 2 menjelaskan secara lengkap sejarah TV Jepang sampai kira-kira tahun 2011.
Gambar 2. Periodisasi Penyiaran TV di Jepang (sumber: dpa.or.jp)
Kampanye Pemerintah tentang TV Digital
Penulis mengamati setidaknya ada langkah-langkah dini pemerintah Jepang dalam memperkenalkan penyiaran barunya sehingga masyarakat tidak kaget. Mengapa kaget? Karena dengan dipakainya penyiaran TV digital, masyarakat paling tidak harus membeli tuner TV digital agar TV lamanya masih bisa digunakan.
Di antara langkah-langkah dini itu yang teramati langsung oleh penulis adalah:
1. Pemberian seal (stiker) bahwa siaran TV analog akan berakhir 2011
Seal ini ditempelkan pada seluruh TV analog yang masih dijual. Masyarakat ketika akan membelinya diharapkan sudah mengerti bahwa TV analog yang akan dibeli tersebut hanya bisa dipakai sampai tahun 2011. Bentuk sealnya ditunjukkan oleh Gambar 3(a) dan juga pada Gambar 1 (lihat pada bagian kanan bawah TV). Seal ini ditempelkan pada salah satu pojok dari 4 pojok TV analog.
Gambar 3(a). Seal resmi berakhirnya TV analog pada 2011. (sumber: dpa.or.jp)
Sebagai gantinya, seal untuk logo TV digital ditunjukkan oleh Gambar 3(b). Seal ini dipasang pada semua TV digital yang dijual saat ini. Dengan seal tersebut, masyarakat akan bisa mempertimbangkan ketika membeli. Ini juga menjadi semacam perhatian ”warning” agar masyarakat tidak tertipu dan kecewa.
Gambar 3(b). Seal resmi (bertuliskan kanji “chijou=terestrial” dan digital) pada peralatan yang bisa menerima penyiaran TV digital. (sumber: dpa.or.jp)
2. Pengumuman lewat TV
Beberapa kali televisi seperti NHK menyiarkan bahwa penyiaran analog terestrial akan diakhiri pada 2011. Diperkenalkan kualitas penyiaran TV digital dan perbedaanya dengan penyiaran TV analog.
3. Pengumuman lewat selebaran/pamflet
Selebaran yang menjelaskan kenapa dipakai penyiaran TV Digital mudah kita dapatkan di tempat pelayanan masyarakat misalnya Shiyakusho (city hall), Stasiun kereta, rumah sakit, klinik, supermarket dan lain-lain.
4. Pengumuman lewat Internet
Untuk pengumuman lewat internet, jumlahnya sangat banyak. Salah satunya Anda bisa mengecek di [2] atau [4].
5. Demonstrasi di stasiun kereta
Stasiun kereta adalah tempat yang cukup bagus untuk kampanye, mengingat kereta menjadi alat transportasi utama di Jepang. Volume penumpang yang sangat tinggi, menjadikan stasiun adalah tempat terbaik untuk kampanye. Hampir semua kampanye termasuk kampanye politik. Pada semua stasiun kereta, terutama stasiun besar yang menjadi pertemuan beberapa jalur kereta listrik, terdapat dapat kita temukan TV digital. Biasanya TV digital tersebut diposisikan bersamaan dengan “iklan” program TV kabel lainnya.
Keunggulan TV Digital yang Diperkenalkan ke Masyarakat
Selain keunggulan TV Digital yang bisa menghasilkan gambar yang bersih dan menghilangkan gambar yang kabur (ghost image) [1], beberapa keunggulan yang diperkenalkan pemerintah ke masyarakatnya adalah (misalnya) :
1. Satu channel dapat displit untuk 2-3 program sekaligus.
Dengan TV digital, 2-3 program sekaligus (dengan kualitas sama dengan TV analog) bisa dinikmati dalam waktu bersamaan. Misalnya ketika sedang menikmati sepak bola, kita juga bisa menonton drama.
Gambar 4. Multiple Program pada penyiaran TV Digital (sumber: soumu.go.jp)
2. Layanan untuk orang lanjut usia dan cacat
Selain bisa melihat subtitle, TV digital bisa membantu orang yang buta untuk memahami adegan drama misalnya. Dengan TV digital, suara juga bisa diperlambat ataupun dipercepat.
Gambar 5. Subtitle terutama bagi yang memiliki gangguan pendengaran (sumber: dpa.or.jp)
3. Pengecekan Cuaca bisa dilakukan setiap saat
Ramalam cuaca menjadi perhatian tersendiri bagi masyarakat Jepang. Dengan ramalan inilah orang Jepang memutuskan untuk membawa payung atau tidak ketika pergi ke kantor atau tempat lainnya. Dengan TV digital, pengecekan cuaca bisa dilakukan setiap saat hanya dengan menekan tombol ramalan cuaca pada remote controlnya.
Gambar 6. Ramalan cuaca bisa dicek setiap saat (sumber: dpa.or.jp)
4. dan masih banyak keuntungan lainnya
Indonesia yang saat ini sedang memikirkan TV Digital semoga bisa belajar dari negara manapun termasuk Jepang. Semua aspek harus dipikirkan secara matang terutama aspek yang berpotensi merugikan rakyat terutama masyarakat yang kurang mampu secara finansial. Plan harus dibuat sebaik mungkin dan jauh-jauh hari, sehingga masyarakat tidak shock.
Reformasi Program Televisi
Bagi yang bermukim di Jepang, bisa melihat bahwa lumayan banyak program-program bagus yang bisa dinikmati, terutama program untuk anak-anak dari 0 tahun sampai dengan anak SMA. Dari program bermain sampai dengan program sains dan teknologi sederhana untuk anak. Acara artis pun biasanya diisi dengan kuis-kuis mendidik seperti kuis binatang, laut, gunung, survive ataupun tips-tips penting dalam menghemat listrik, air sampai menghemat biaya hidup. Tentunya masih ingat progam terkenal “hidup sebulan hanya dengan 10.000 yen (sekitar Rp. 750.000)”.
Dengan perubahan ke TV digital ini pula, diharapkan program-program pertelevisian Nasional Indonesia bisa “diubah”, direformasi, dari dari program-program yang tidak mendidik, syirik, ghibah (gosip), merusak moral dll, menuju program-program yang jauh bermanfaat dan lebih baik. Sehingga tidak perlu ada lagi, orang tua yang harus “membuang” TV-nya karena program-programnya merusak moral anak-anak.
Karena bagaimanapun juga, TV adalah media yang efisien dan cepat untuk menerima informasi. Kita dengan mudah/sederhana bisa menyerap informasi dari TV atau radio sambil mengerjakan pekerjaan lainnya atau sambil istirahat. Tapi tidak bisa dengan (misalnya) surat kabar, majalah atau internet yang mau tidak mau harus dengan membacanya.Dengan TV masyarakat bisa menjadi sholeh dan dengan TV pula masyarakat bisa menjadi jahat.

sumber: www.kamusilmiah.com

Saturday, July 25, 2009

4 Main issues in contemporary Japanese society.


4.1 The individual and the group

Many Westerners ask whether there is a Japanese self that exists apart from an identification with a group. The answer lies in the Japanese distinction between uchi (inside) and soto (outside). These terms are relative, and the "we" that is implied in uchi can refer to the individual, the family, a work group, a company, a neighborhood, or even to all Japan, the main thing is that it is always defined in oppostition to a " they ". The contexts or situations thus call for some level of definition of self. When an American businessman meets a Japanese counterpart, a colleague, the Japanese will define himself as a member of a particular company with which the American is doing business. However, if the American makes a cultural mistake, the Japanese is likely to define himself as a Japanese, as distinguished from a foreigner. The American might go away from his encounter with the belief that the Japanese think of themselves only as members of a group, which is not correct indeed.
"Japan, like other societies, has conflicts between individual and group. What is different from Western society is not that the Japanese have no sense of self but rather that the self is defined through its interaction with others and not merely through the force of individual personality."

From childhood, Japanese are taught that the level of self shouldn't be assertive, but rather should be considered of the needs of others. The private emotions, and perhaps the funloving, the relaxed side of Japanese people, are tolerated and sometimes even admired as long as these don't interfere with the performance of the public responsabilities. The proper performance of social roles is necessary to the smooth functionning of society. For all these reasons, individuals aware of their private definition of self, use a variable scale of uchi and soto to define themselves in the various situations.

4.2 Family and ie system

In Japan strong gender roles remained the cornerstone of family responsibilities (see the paragraph 1.5: "Gender stratification"). Most survey respondents said that family life should emphasize parent-child ties over husband-wife relations.
Various family life-styles exist side by side in contemporary Japan. In many urban businessman families, the husband may commute to work and return late, having little time with his children except for Sundays, a favorite day for family outings. The wife might be a "professional housewife", with nearly total responsibility for raising children, ensuring their careers and marriages, running the household, and managing the family budget. She also has primary responsibility for maintaining social relations with the wider circles of relatives, neighbors, and acquaintances and for managing the family's reputation. Her social life remains separate from that of her husband. It is increasingly likely that in addition to these family responsibilities, she may also have a part-time job or participate in adult education or other community activities. The closest emotional ties within such families are between the mother and children.
In other families, particularly among the self-employed, husband and wife work side by side in a family business. Although gender-based roles are clearly defined, they might not be as rigidly distinct as in a household where work and family are more separated. In such families, fathers are more involved in their children's development because they have more opportunity for interacting with them.As women worked outside of the home with increasing frequency beginning in the 1970s, there was pressure on their husbands to take on more responsibility for housework and child care. Farm families, who depend on nonfarm employment for most of their income, are also developing patterns of interaction different from those of previous generations.



4.3 Neighborhood

Beyond the family, the next group to which children are introduced is the neighborhood. Although the informal groups of children who freely wandered through villages of the past have no counterpart in contemporary heavily trafficked city streets, neighbohood playground and the grounds of local shrines and temple are sites where young children, accompanied by mothers, begin to learn to get along with others.

Also among neighbors, people give a special value to face. In old urban neighborhoods or rural villages, families may have been neighbors for generations and thus expect relationships of assistance and cooperation to continue into the future. In newer company housing, neighbors represent both competition and stress at the workplace, which cannot be expressed1. Extra care is taken to maintain proper relations while maximazing anyway the family privacy. Participation in neighbohood activities is not obligatory, but non-participants might lose face. If a family plans to stay in an area, people feel strong pressure to participate in public projects such as neighborhood cleanups or seasonal fastivals.

Furthermore, concern for the family's reputation is so strong that even background checks for marriage and employment might having to ask neighbors their opinion about a family. More positively seen, neighbors become uchi ("family") for certain purposes, such as local merchants providing personal services, physicians responding to calls for minor ailments and emergency treatments, and neighbors taking care of children as their mothers goes out.

4.4 Work and unemployment

For many adults, contacts among the working environment widens the circle of social relationships and so are considered important sources of friendships and resources. For men especially, the workplace is the focus of their social world. Many both in and outside of Japan share an image of the Japanese workplace that is based on a lifetime-employment model used by large companies. These employment practices came about as the result of labor shortages in the 1920s, when companies competed to recruit and retain the best workers by offering better benefits and job security. By the 1960s, employment at a large prestigious company had become the goal of children of the new middle class, the pursuit of which required mobilization of family resources and great individual perseverance in order to achieve success in the fiercely competitive education system.

Lifetime employment refers not to a worker's lifetime but to the time from school graduation until mandatory retirement, at age sixty for most men. Workers are recruited directly out of school, and large investments are made in training. Employees are expected to work hard and demonstrate loyalty to the firm, in exchange for some degree of job security and benefits, such as housing subsidies, good insurance, the use of recreational facilities, and bonuses and pensions. Wages begin low, and seniority is rewarded, with promotions based on a combination of seniority and ability. While the US and the European systems mostly give evaluations to each person's level of competence in his area of responsability and compensation is based on the individual results and on the "quantifiable contributions" he makes, in Japan "basic salary is made up of seniority pay, position pay, and ability pay" (Japan Insight) and "the average employee's salary at around age 50 is approximately twice that of new recruits in their first year with the company".
Source:book of japanese society

Bagaimana Pola Pengasuhan Anak di Jepang

Di sebuah shopping arcade di pusat kota Kyoto, saat sedang menikmati segelas cappucino sambil mengamati orang berbelanja, tiba-tiba saya dikejutkan suara keras tangisan anak kecil. Rupanya ada gadis kecil berumur 4 tahunan tersandung dan jatuh. Lututnya berdarah. Kami heran ketika melihat respons ibunya yang hanya berdiri sambil mengulurkan tangan ke arah gadis kecilnya tanpa ada kemauan untuk segera meraih anaknya. Cukup lama. Beberapa menit adegan ini berlangsung. Si ibu tetap sabar dan keras hati untuk menunggu anaknya menyelesaikan sendiri rasa shock dan sakitnya. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya si gadis kecil mulai berusaha berdiri lagi, dan dengan bantuan kecil tangan ibunya dia kembali berdiri. Masih sambil terisak-isak ia pun berjalan lagi. Dalam benak saya waktu itu, kok tak punya hati ibu si gadis kecil ini? Tega membiarkan anaknya dalam kondisi kesakitan. Ingatan langsung terbang ke Indonesia.

Jika kejadian yang sama terjadi di Kota Jakarta ataupun Yogyakarta, saya yakin si ibu pasti akan langsung meraih dan menggendong untuk menenangkan anaknya. Dari adegan itu, bisa kita bayangkan perbedaan cara pengasuhan anak Jepang dan anak Indonesia. Dari pengamatan saya selama hampir setahun tinggal di Jepang, anak Jepang cenderung dibiasakan dari kecil untuk mengatasi berbagai kesulitan sendiri, sementara anak Indonesia selalu disediakan asisten untuk mengatasi kesulitannya. Babysitter atau pembantu rumah tangga pun tidak ada dalam kebiasaan keluarga-keluarga di Jepang. Sebaliknya di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan lain-lain kehadiran mereka wajib ada sebagai asisten keluarga maupun sebagai asisten anak-anaknya. Dalam sebuah studi perbandingan yang dilakukan oleh Heine, Takata dan Lehman pada tahun 2000 yang melibatkan responden dari mahasiswa Jepang dan mahasiswa Kanada dinyatakan bahwa mahasiswa Jepang lebih tidak peduli dengan inteligensi dibandingkan orang Kanada. Hal ini disebabkan orang Jepang lebih menghargai prestasi didasarkan pada usaha keras daripada berdasarkan kemampuan inteligensi. Artinya, bagi orang Jepang kemauan untuk menderita dan berusaha keras menjadi nilai yang lebih penting daripada kemampuan dasar manusia seperti inteligensi.Dalam keseharian dengan mudah kita dapat menyaksikan mereka selalu berjalan dalam ketergesaan karena takut kehilangan banyak waktu, disiplin dan selalu bekerja keras. Suasana kompetitif dan kemauan untuk menjadi yang lebih baik (yang terbaik) sangat menonjol. Studi ini juga menemukan bahwa orang Jepang memiliki budaya kritik diri yang tinggi, mereka selalu mencari apa yang masih kurang di dalam dirinya. Untuk kemudian mereka akan segera memperbaiki diri. Lain lagi Indonesia, yang saat ini terjebak dalam kesalahan umum di mana hasil akhir menjadi segala-galanya. Hasil akhir lebih dihargai dibandingkan usaha keras. Tengok saja kompetisi yang terjadi dari anak usia sekolah tingkat SD hingga perguruan tinggi untuk mendapatkan nilai kelulusan yang tinggi. Guru, orang tua maupun masyarakat umum selalu menekan anak untuk mendapatkan nilai kelulusan yang tinggi, sehingga mereka pun menghalalkan segala cara. Kita baca di koran polisi menangkap para guru karena berlaku curang dalam ujian nasional, sementara di tempat lain orang tua membeli soal ujian, siswa menyontek dan lain sebagainya. Pola pengasuhan ini, pada gilirannya pasti berperan besar dalam pembentukan karakter anak dalam perkembangan berikutnya. Oleh karenanya, memberi kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mengembangkan semua potensinya adalah satu prinsip dasar dari satu pola pengasuhan yang sangat baik bagi pembentukan karakter anak. Orang tua, asisten, atau pun orang yang lebih dewasa jangan mengambil alih tanggung jawab anak. Sebagai contoh, beri kesempatan pada anak untuk belajar makan secara benar dengan tangannya sendiri sejak dia mampu memegang sendok. Jangan diambil alih hanya karena alasan akan membuat kotor. Atau beri kesempatan pada anak untuk menghadapi dunia sekolah pertama kali tanpa banyak intervensi dari pengasuh maupun orang tua. Memberi rasa aman pada anak memang penting jika diberikan pada saat yang tepat. Tetapi menunggui anak selama dia belajar di sekolah adalah pemberian rasa aman yang tidak perlu. Momen ini adalah momen penting bagi anak untuk belajar menghadapi dunia di luar rumah tanpa bantuan langsung orang-orang di sekitarnya. Pengalaman anak merasa mampu menghadapi persoalan dengan kemampuannya sendiri akan menumbuhkan kepercayaan diri. Oleh karena itu, orang tua sebaiknya membatasi diri hanya menjadi partner diskusi yang membantu anak menemukan berbagai kemungkinan solusi. Orang tua kadang harus berteguh hati membiarkan anak mengalami rasa sakit, menderita, dan rasa tertekan dalam isi dan porsi yang tepat, karena hal itu akan sangat baik untuk perkembangan mental anak. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang siap menghadapi tantangan hidup dan tidak mudah menyerah. Hargai anak bukan dari hasil akhirnya melainkan dari proses perjuangannya. Anak perlu diberi pembelajaran (dan juga orang tua perlu belajar) untuk bisa menikmati dan menghargai proses, meskipun proses seringkali tidak nyaman.

by: Dr. Christina Siwi Handayani, Staf Pengajar Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta









Etika berbisnis di Jepang

Jika Anda ingin berbisnis dengan Jepang, keberhasilannya sangat bergantung pada pemahaman budaya setempat. Karena itu, kenali tiga hal ini: wa, kao, dan omoiyari.

JEPANG merupakan contoh menarik perpaduan harmonis antara modern dan tradisional. ‘’Negeri matahari terbit’’ ini tidak hanya memancarkan sinar kemajuan industri dan teknologi, melainkan juga memiliki keunikan budaya yang tak tenggelam di tengah arus modernisasi. Jangan kaget jika di negeri dengan ekonomi terbesar kedua dunia ini Anda menjumpai segala sesuatunya berbeda secara fundamental. Budaya Jepang —dalam banyak hal bersumber pada spirit Konfusianisme dan Shintoisme— sangat mewarnai kehidupan sosial dan etos bisnis. Jepang memiliki budaya konteks tinggi yang sangat berbeda, khususnya dengan budaya Barat, yang lebih egaliter dan terbuka.
Pilar utama nilai-nilai budaya Jepang dikenal dengan wa (harmoni), kao (reputasi), dan omoiyari (loyalitas). Konsepsi wa mengandung makna mengedepankan semangat teamwork, menjaga hubungan baik, dan menghindari ego individu. Perlu diingat, pengaruh nilai wa dalam pola budaya Jepang terutama udaya bisnis— yaitu ekspresi tidak langsung dalam menyatakan penolakan.Orang Jepang tidak bisa berkata tidak. Dalam menyampaikan pendapat, mereka lebih mengutamakan konteks, tidak menyatakannya secara terbuka. Secara harfiah, kao berarti wajah. Wajah merupakan cermin harga diri, reputasi, dan status sosial. Masyarakat Jepang pada umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung. Membuat orang lain ‘’kehilangan muka’’ merupakan tindakan tabu dan dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan bisnis. Sedangkan omoiyari berarti sikap empati dan loyalitas. Spirit omoiyari menekankan pentingnya membangun hubungan yang kuat berdasarkan kepercayaan dan kepentingan bersama dalam jangka panjang.

BUDAYA DAN IKLIM BISNIS
Memasuki abad ke-20, setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang mulai mengadopsi teknologi Barat dan menggenjot industri dalam negerinya. Sejak itu, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dan menjadi salah satu negara pengekspor paling sukses. Kini Jepang merupakan negara industri terkemuka, dengan iklim bisnis dan pasar terbuka yang ramah bagi investasi dan perdagangan asing. Meskipun Jepang mengalami proses modernisasi yang cepat, pola budaya dan tradisinya masih kental mewarnai praktek dan hubungan bisnis. Berikut gambaran praktek bisnis di Jepang pada umumnya.
Struktur dan hierarki dalam bisnis dan perusahaan Jepang sangat kuat. Hierarki yang kuat juga tercermin dalam negosiasi bisnis. Proses negosiasi biasanya dimulai dari executive level, kemudian dilanjutkan pada middle level. Meskipun demikian, keputusan dibuat secara kolektif.
Proses negosiasi bisnis dengan Jepang dikenal alot dan lamban. Namun adanya persaingan bisnis yang ketat dewasa ini mendorong pengambilan keputusan dibuat lebih cepat dan efisien.
Dalam budaya bisnis Jepang, senioritas sangat dihormati. Umur dan status biasanya terkait erat. Dalam pertemuan bisnis, posisi tempat duduk didasarkan pada tingkat senioritasnya.
Di Jepang, kontrak bisnis tidak otomatis diartikan sebagai kesepakatan akhir. Lebih penting dari itu adalah memelihara relasi dengan baik untuk kepentingan jangka panjang.
ETIKA BISNIS JEPANG: DO’S AND DON’TS
Kebiasaan umum di Jepang dalam perkenalan, menyambut, atau memberi salam adalah dengan ‘’membungkuk’’. Menyambut dan memberi salam hendaknya dilakukan dengan sopan dan penghormatan yang wajar. Jika relasi Anda membungkuk, pastikan bahwa Anda membalasnya, membungkuk serendah yang dilakukan oleh relasi Anda. Dalam hal tertentu, cukup dengan berjabat tangan. Dalam perkenalan, jangan menyapa relasi Jepang Anda dengan nama depannya. Orang Jepang lebih suka menggunakan nama belakangnya. Gunakan sebutan Mr, Mrs, atau menambah san pada nama keluarga. Misalnya, Mr. Hiroshima atau Hiroshima-san.
Pertukaran kartu nama (business card). Saling tukar kartu nama atau ‘’meishi’’ merupakan kebiasaan yang penting di Jepang. Pembicaraan bisnis selalu diawali dengan pertukaran kartu nama. Pemeo mengatakan, bisnis belum dapat dimulai sampai ada pertukaran kartu nama. Gunakan dua tangan pada waktu menyerahkan kartu, demikian pula sebaliknya ketika menerima. Pertukaran kartu nama dilakukan setelah ritual salam membungkuk usai dilaksanakan. Pada waktu menerima kartu nama dari calon relasi bisnis, tunjukkkan bahwa Anda telah mengamatinya dengan cermat dan saksama sebelum menaruhnya di atas meja atau memasukkannya dalam card case. Jangan memasukkan kartu ke dalam dompet, kantong celana, atau menulis pada kartu yang Anda terima. Tindakan ini dipandang sebagai tindakan tidak respek dan sopan. Kartu hendaknya dicetak dalam dua bahasa, di satu sisi bahasa nasional Anda dan pada sisi sebaliknya dengan bahasa Jepang. Hal ini untuk menunjukkan kemauan kuat Anda untuk berkomunikasi dengan relasi Jepang Anda.
Pertukaran cenderamata atau oleh-oleh. Membawa dan memberikan oleh-oleh merupakan bagian warisan budaya bisnis Jepang tempo dulu yang sangat penting. Pada era bisnis Jepang kontemporer, meskipun membawa oleholeh tidak lagi menjadi keharusan, hal itu tetap dihargai sebagai bagian dalam etika bisnis Jepang. Namun, harus diingat, jangan membawa cenderamata terlalu besar, sebab dapat dianggap sebagai “sogokan’’. Cenderamata itu sendiri sebenarnya tidaklah terlalu penting. Yang lebih penting dari itu adalah prosesi dan nuansa yang terjadi di balik tukar-menukar cenderamata itu. Cenderamata harus selalu dibungkus secara cermat. Jangan menggunakan kertas bungkus dengan warna putih polos karena menyimbolkan kematian. Penyerahan cenderamata hendaknya dilakukan pada akhir pertemuan atau kunjungan. Penyerahan dilakukan dengan dua tangan, demikian sebaliknya pada waktu menerima.
Ketepatan waktu. Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat dengan budaya tepat waktu yang tinggi. Terlambat dalam suatu pertemuan bisnis dianggap tidak menghargai. Datang lima menit lebih awal merupakan praktek yang umum.
Penampilan dan busana. Orang Jepang dikenal sangat konservatif soal pakaian. Mereka sangat menghargai seseorang yang berpakaian pantas sesuai dengan status dan posisinya atau bahasa kerennya, dress to impress. Dalam acara bisnis, jangan mengenakan pakaian casual. Laki-laki sebaiknya memakai business suits warna gelap konservatif. Wanita dianjurkan tidak memakai celana panjang karena dinilai kurang sopan dan memberi kesan ofensif.
Jamuan bisnis. Orang Jepang hampir tidak pernah mengundang jamuan di rumah. Jamuan bisnis umumnya diadakan di restoran. Biasanya tuan rumah akan memilih menu dan membayarnya. Perlu dicatat, memberikan tip bukan hal yang lumrah di Jepang.
Privasi dan body language. Masyarakat Jepang sangat menghargai privasi dan merasa nyaman dengan sikap tenang. Dalam berbicara atau negosiasi, hindari sikap dan gerakan-gerakan tangan yang berlebihan. Orang Jepang tidak bicara dengan tangan. Menunjuk dianggap tindakan yang tidak sopan. Jangan pula menggunakan isyarat ‘’OK’’ dengan tangan, karena di Jepang berarti uang. Hindari simbol-simbol angka 4 (empat). Masyarakat Jepang mempercayai angka 4 sebagai angka dan nasib buruk (bad luck) karena bunyi bacaan shi punya kesamaan arti dengan kematian.
Di “negeri sakura’’, ungkapan gomenasai (maaf) dan arigato (terima kasih) banyak kita dengar di berbagai tempat dan kesempatan. Menyatakan terima kasih secara intens dan berulang kali dianggap perbuatan yang santun. Nah, setelah mengetahui etika bisnis Jepang, sebaiknya Anda mulai mempraktekannya supaya sukses mendulang emas di ‘’negeri samurai’’ itu. Hai, domo, arigato...!

Sunday, July 19, 2009

this song tribute for my Dad... (you always in my heart .. I love you)

作詩:秋元康 作曲:井上ヨシマサ








ある朝 目覚めたら
神が待ってた
命に終わりが来ると
そっと知らされた

どうして 僕だけが
旅立つのか?
運命のさざ波に
声は届かない

一番近くの
大事な人よ
しあわせだったか?
それが気がかり

もしも僕がいなくなったら
最初の夜だけ泣いてくれ

※君と僕が過ごした歳月(とき)を
思い出しながら
見送って…※

いつかは 誰もみな
迎えが来ると
わかっていたはずなのに
他人事(ひとごと)のようで…

夕陽がいつもより
美しくて
知らぬ間に溢れ出す
感謝の気持ち

今まで一緒に
歩いた人よ
残して行くこと
許して欲しい

君と会えてしあわせだった
朝の空見上げ 微笑んで
僕はきっと日差しになって
見守っているよ
君のこと

もしも僕がいなくなったら
最初の夜だけ泣いてくれ

(※くり返し)

let's sing together.... (HanaMizuki)


作詞:
一青窈 作曲: マシコタツロ





空を押し上げて
手を伸ばす君 五月のこと
どうか来てほしい
水際まで来てほしい
つぼみをあげよう
庭のハナミズキ

※薄紅色の可愛い君のね
果てない夢がちゃんと
終わりますように
君と好きな人が
百年続きますように※

夏は暑過ぎて
僕から気持ちは重すぎて
一緒にわたるには
きっと船が沈んじゃう
どうぞゆきなさい
お先にゆきなさい

△僕の我慢がいつか実を結び
果てない波がちゃんと
止まりますように
君とすきな人が
百年続きますように△

ひらり蝶々を
追いかけて白い帆を揚げて
母の日になれば
ミズキの葉、贈って下さい
待たなくてもいいよ
知らなくてもいいよ

(※くり返し)
(△くり返し)

君と好きな人が
百年続きますように。

Translation:

Reaching for the sky
Your stretched out hand, a thing of may.
I want you to somehow or another come here
To the beach, I want you to come.
I will give you a seed.
To start a garden of flowering dogwood trees.

*The cute color of you blushing.
It seems like the unending dream is finally
ending.
It seems like you and the person you love
Will keep going for 100 years.*

The summer is too hot.
My feelings are too serious
Let’s cross together
This ship is surely sinking
Please go on.
Go on ahead of me.

**My endurance will one day be rewarded.
It seems like the unending wave is finally
Ending.
It seems like you and the person you love
Will keep going for 100 years.**

Chasing after the nimble butterfly,
I raise the white sail
When it becomes mother’s day
Please send a dogwood leaf.
You do not need to wait.
You do not need to know

*Repeat
**Repeat

It seems like you and the person you love
Will keep going for 100 years.




Saturday, July 11, 2009

Hyaku-En Shop Murah, Bukan Murahan

Siapa bilang teori ekonomi hanya berlaku di kalangan produsen saja? Konsumen juga mengikuti prinsip tersebut sekarang. Dengan sedikit uang, wajib memperoleh barang bagus! Hal ini tampak jelas terlihat pada masyarakat Jepang dengan konsep hyaku-en shop (100 yen shop). Toko ini menjadi solusi yang tepat bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Konsep ini mengalami puncak keemasannya di Jepang sekitar tahun 2001. Mereka yang tadinya malas berbelanja, akhirnya tertarik mem-beli aneka barang murah di berbagai 100 yen shop.

Konsep serupa sebenarnya juga pernah diadaptasi di Indonesia. Salah satu pemain lokalnya adalah Valu$ yang menyediakan berbagai varian item produk dengan harga mulai dari Rp 5,000. Kendati masih tetap eksis hingga saat ini, namun gaungnya sudah tidak seberapa terdengar lagi. Tapi tidak dengan negara Jepang. Hingga kini masyarakatnya masih banyak yang memilih hyaku-en shop sebagai tempat berbelanja barang-barang kebutuhan rumah tangga. Yang menjadi tanda tanya adalah, bagai-mana hyaku-en shop Jepang bisa tetap eksis sementara konsep yang sama di Indonesia mulai ditinggalkan?

Konsep hyaku-en shop (100 yen shop) lahir akibat sulitnya kondisi perekonomian yang sempat menimpa penduduk Negeri Mata-hari Terbit itu di tahun 1980-an. Pada masa itu, uang 100 yen tidak lagi dapat membeli apa yang seharusnya dapat dibeli. Supermarket dan departement stores yang biasa menjadi tempat belanja orang-orang kaya mengalami masa sulit. Seibu, pemain utama di bisnis ini, terpaksa menutup beberapa gerainya, juga Daiei, salah satu outlet yang sebelumnya populer karena kualitas barang yang baik dan harganya yang rasi-onal. Kelesuan perekonomian dan rendahya daya beli menjadi isu utama pada masa itu.

Situasi inilah yang mendorong satu sisi dunia perdagangan berdiri, hyaku-en shop (100 yen shop), sekaligus penyeimbang Jepang atas perdagangan dolar. Bahkan lima perusahaan terbesar hyaku-en shop penghasilan kotornya mencapai 500 milyar yen ($50 juta) dengan tingkat kenaikankeuntungan mencapai 22% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pada awal kemunculannya, pers setempat sempat memiliki pandangan negatif dan menggambarkan hyaku-en shop sebagai bisnis musiman yang tidak memiliki aspek-aspek yang bagus, hanya ‘memulung’ ba-rang-barang dari berbagai perusahaan yang bangkrut. Namun, lama-kelamaan mereka menadi lebih bersahabat, dan sekarang tidak ada lagi yang merasa bersalah mengenai asal-usul pembelian barang-barang yang dijual di hyaku-en shop. Toh bagaimanapun juga, bagi sebagian besar pembeli, pendorong utama mereka membeli sangatlah jelas, adalah keloyalan mereka pada merk tertentu.

Pada awal masa booming hyaku-en shop, gerainya rata-rata berlokasi di daerah yang padat lalu-lalang, dekat dengan stasiun atau di daerah pedagang kaki lima, tapi kemudian bermunculan dengan cepat di daerah perkotaan dan sepanjang jalan-jalan raya yang sibuk, dan tak pernah ketinggalan juga di arena pachinko yang selalu ramai pengunjung. Beberapa hyaku-en shop bahkan tidak hanya bertindak sebagai retailer, namun juga telah memiliki merk sendiri atas beberapa barang dan juga menjadi supplier bagi jaringan hyaku-en shop lainnya, termasuk di luar Jepang. Perkembangan yang sedemikian pesatnya bahkan telah membuat Seira, sebuah hyaku-en shop terkemuka yang bermarkas di Gaki, daerah Gifu, terdaftar di JASDAQ dan memiliki 2,400 gerai.

Pada tahap selanjutnya, walaupun keadaan ekonomi telah jauh lebih baik, penduduk Jepang masih terbiasa untuk berbelanja di hyaku-en shop. Bahkan belakangan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan para penduduk lokal, hyaku-en shop juga menarik minat para turis dan para mahasiswa asing yang melanjutkan studinya di Jepang. Hanya dengan 105 yen (5 yen-nya untuk pajak), mereka sudah bisa mendapatkan berbagai barang dan peralatan yang mereka butuhkan selama menjalani masa studi, semua-nya tersedia.

Terkadang, penataan produk yang menarik di hyaku-en shop dapat membuat pembeli merasa heran dan bertanya-tanya, kenapa department store memasang tarif begitu mahal untuk barang yang sama? Mereka menyediakan berbagai macam mulai dari pakaian dalam, lipstik, hingga kabel USB, sikat gigi elektrik, pemukul ping-pong, pedometers, ember plastik, nampan, gelas, piring, cangkir, peralatan sehari-hari di dapur, handuk dan deterjen (yang paling laku), juga snack (seperti permen, minuman kaleng, mie) dan masih banyak lagi.

Ekspansi terbesar dalam sejarah perkembangan hyaku-en shop dewasa ini dilakukan oleh Daiso dengan membuka 2000 toko ke seluruh penjuru Jepang dengan otoritas penuh. Yang terbesar adalah Daiso Giga Machida, bangunan lima lantai ini berada di depan stasiun Machida.

Selain 100-yen shop saat ini ada pula 3 coins shop dan shop 99+. Konsepnya sama dengan hyaku-en shop, hanya shop 99+ tidak menjual barang-barang keperluan rumah tangga, melainkan aneka snack dengan harga murah. Kendati namanya berbeda-beda, namun mereka ditarik oleh benang merah yang sama, yaitu menjual berbagai barang kebutuhan dengan harga yang terjangkau. Pada intinya, hyaku-en shop melakukan pembelian produk mereka dalam jumlah yang sangat besar dengan potongan harga yang besar pula dari negara-negara dengan tingkat produksi dan biaya tenaga kerja yang murah.

Tapi sekali lagi mengapa konsep murah ini kurang populer lagi di Indonesia? Satu hal yang pasti, kualitas tanpa kompromi. Pada negara berkembang seperti Indonesia, kualitas merupakan hal yang urutannya di bawah harga. Karenanya, muncul image buruk terhadap ‘toko lima ribu’ di Indonesia. Berbeda dengan hyaku-en shop di Jepang, kualitas menjadi prioritas utama. Terlebih harganya juga sangat terjangkau. Karena itu jumlah hyaku-en shop yang tersebar di Jepang saat ini sudah mencapai puluhan ribu gerai, yang tersebar di ber-bagai pusat perbelanjaan, stasiun, hingga kawasan permukiman.

Sunday, June 28, 2009

Pelajaran yang seharusnya kita contoh dari Jepang

Perjalanan ke Jepang memberikan beberapa pelajaran berharga yang bermanfaat, serta memberikan 'ibrah yang dapat membuka wawasan baru, sesuatu yang sangat penting.

Disiplin Waktu

Menghargai waktu sudah jadi bagian akidah dasar orang Jepang. Di Jepang, waktu tidak lagi diukur dengan ukuran bulan, minggu atau hari, tapi berdasarkan ukuran jam dan menit. hal ini terbukti saat saya pergi untuk naik kereta. saat itu kereta di jadwalkan tiba pukul 14;38 menit. saya tiba 1 menit ssetelah itu wah. apa yang terjadi, saya tertinggal kereta tersebut dan harus menunggu kereta selanjutnya sekitar 20 menit kemudian. pokoknya tidak ada tawar menawar waktu deh di Jepang itu. :(


Jalan Kaki atau Naik Sepeda

Mau bergaya naik mobil pribadi di Jepang?

Boleh-boleh saja. Tapi sebentar, di Tokyo jarang ada tempat parkir. Kalau pun ada, harganya mahal. Dan jangan coba-coba parkir sembarangan, atau melebihi batas maksimal waktu yang dibolehkan. Bisa-bisa mobil kita ditempeli surat oleh polisi.

Mau tahu dendanya? Ya, sekitar 1, 2 jutaan rupiah. Wah, lumayan juga ya. Itulah mengapa kita harus berpikir berkali-kali kalau mau beli mobil di Tokyo. Apalagi sudah ada subway yang jauh lebih murah, dinamis dan juga bisa mengkases semua wilayah di Tokyo.

Walhasil, apakah dia pejabat, direktur atau pun tukang sapu, kita lihat mereka pergi ke mana-mana jalan kaki atau naik subway. Tidak ada perbedaan apakah mereka kaya ataukah miskin, semua sama-sama antri, semua sama-sama berbagi di dalam kereta subway yang penuh sesat, tapi aman dan nyaman.

Justru buat kami sedikit problem, karena tidak biasa olahraga walau pun hanya jalan kaki. Melihat orang ke mana-mana jalan kaki, kayaknya orang Jepang itu tidak ada capeknya. Sementara kaki ini sudah lecet karena dibawa jalan kaki ke mana-mana. Dan jangan coba-coba cari tukang ojek di Tokyo, ditanggung tidak ada.

Di Tokyo dan juga kota-kota lain di Jepang, jalan-jalan disediakan buat para pejalan kaki dan juga mereka yang bersepeda. Nah, khusus untuk bersepeda, memang terasa sangat nyaman. Kita tidak takut kesenggol mobil atau kendaraan bermotor lain. Karena telah dibuatkan jalan khusus.

Sudah irit tanpa bahan bakar bensin, juga badan jadi sehat. Sudah lazim di berbagai gedung terdapat parkir sepeda. Mulai dari orang kecil sampai orang besar, mereka biasa bersepeda.

Tidak Mau Mengambil Yang Bukan Haknya

Masyarakat Jepang mempunyai kebiasaan baik, yaitu melaporkan kepada polisi bila menemukan barang temuan atau barang hilang.

Heran, ini bukan negara Islam, tidak pernah berjargon syariah. Tapi implementasi syariah ternyata ada juga di Jepang. Yah, walau pun kita juga tidak bisa langsung bilang bahwa Jepang itu Islam. Sebab yang mabok juga banyak. Yang kumpul kebo juga tidak kurang.

Tapi urusan keamanan dan kejujuran, bisa diuji. Kalau ada orang kehilangan dompet di tempat umum, 90 - 100% kemungkinan dompet itu akan kembali kepada kita. Terutama bila ada kartu nama atau ID cardnya.

Mungkin karena sudah ditanamkan jujur sejak masih SD, tapi dipikir-pikir enggak juga ya. Di negeri kita, penanaman akhlaq dan budi pekerti serta kejujuran juga tidak kurang. Tapi herannya, kalau kita kehilangan dompet, meski sering juga kembali, tapi duitnya biasanya sudah raib.

Nah, bedanya dengan di Jepang, dompet itu kembali sendiri, masih lengkap dengan isinya, tidak kurang sedikit pun. Kita cukup lapor saja ke pos polisi terdekat. Biasanya, dompet itu malah sudah ada di kantor polisi itu. Ada orang jujur yang mau mengembalikan dompet itu 'apa adanya'.

Pengalaman dulu isteri di Jakarta kehilangan dompet, fungsinya laporan ke polisi hanya sekedar dapat surat keterangan kehilangan. "Lha wong saya saja kehilangan motor, pak", begitu kata polisinya. "Makanya hati-hati kalau bawa dompet, bu", tambah pak polisi.

Iya ya, ngapain lapor polisi, kalau polisinya saja kehilangan motor. Lalu bagaimana beliau-beliau mau nyari dompet kita? Waduh, memang serba salah hidup di negara kita sendiri.

Senyap, Hobi Baca Sedikit Ngobrol

Salah satu kebiasaan masyarakat di Jepang yang kami perhatikan adalah mereka sangat menghargai kesenyapan, jauh dari kebisingan. Jarang kami dapati orang Jepang ngobrol tertawa-tawa di tempat umum, hingga mengganggu orang lain.

Ketika kami masuk ke sebuah warung makan Pakistan, barulah aroma berisik ngobrol terasa, karena ada beberapa orang Pakistan yang lagi makan. Mereka bisa sambil makan sambil ngobrol dan berisik. Sesuatu yang tidak terjadi pada orang Jepang.

Satu hal lagi yang juga tidak luput dari pengamatan kami, orang Jepang ini rata-rata pada hobi membaca. Di semua tempat, termasuk di dalam subway, mereka selalu pegang bacaan, entah buku atau pun koran. Atau kalau tidak, mereka sibuk menunduk memencet-mencet tombol HP. Tapi tidak bertelepon, mungkin lagi SMS atau malah membaca e-book.

Pemandangan ini agak berbeda dengan di negeri kita. Di dalam bus kota, kebisingan sangat kentara. Belum kondektur yang teriak-teriak, orang-orang yang ngobrol ngalor ngidul ke sana kemari. Bahkan masih diberisiki lagi dengan tukang ngamen yang tidak pernah ada hentinya.

Kebisingan sudah jadi bagian dari akidah hidup kita rupanya. Sesuatu yang kita tidak temukan di tempat umum di Tokyo. Masing-masing saling menjaga hak privasi orang lain, terutama dalam masalah kebisingan.

Menghargai Tenaga Manusia

Di Jepang, hampir semua tenaga kerja dibayar mahal. orang - orang di jepang mengatakan bahwa kalau mau saja, seseorang boleh bekerja part-time dan dibayar dengan upah yang bisa buat berlibur ke pulau Bali.

"Oh, jadi turis-turis Jepang yang rajin ke Bali itu, boleh jadi di Jepang cuma tukang sampah atau cleaning service, ya?", tanya kami. "Benar sekali, apalagi Garuda punya harga yang sangat menarik, maka penerbangan Tokyo Denpasar cukup diminati", jawab beliau. "Dan cukup dari upah kerja kasar saja", tambahnya.

Yang menarik, perbedaan nilai gaji pegawai rendahan atau kuli bangunan dengan pejabat tinggi tidak terlalu terpaut jauh. Sehingga jarang terjadi demo buruh di negeri ini. Semua kebutuhan buruh terpenuhi dengan cukup.

Wah, berarti kalau bikin partai yang mengusung agenda membela wong cilik, bisa-bisa tidak laku nih di Jepang. Sebab boleh dibilang tidak ada wong cilik di Jepang. Yang ada hanyalah wong cilik tapi bergaji gede. Maka sudah tidak lagi disebut wong cilik.

Budaya Malu

Orang punya budaya malu yang tinggi. Dan positifnya, kalau ada pejabat yang gagal dalam memegang amanah, tidak segan-segan mereka mengundurkan diri. Rasa malu mereka itulah yang mendorong mereka mundur.

Bagaimana dengan Indonesia? Adakah budaya malu yang sampai membuat seorang pejabat mundur dari jabatannya?

Entahlah kalau kita buka-buka sejarah. Tapi sekarang ini nyaris tidak ada. Bagaimana mau mundur, lha wong jabatan itu didapat dengan susah payah ditambah susah tidur, kok mundur?

Nanti penyandang dana kecewa. Sebab rata-rata para pejabat di negeri kita ini didanai oleh para penyandang dana alias supporter, ketika pilkada atau pemilu. Kalau hanya karena kegagalan lalu mengundurkan diri, sementara uang jarahan belum memenuhi pundi-pundi, bisa-bisa para cukongnya marah.

Jadi budaya malu lalu mengundurkan diri tidak sesuai dengan prinsip ekonomi yang berakidah: mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Dan jabatan adalah sumber penghasilan, tidak ada kamus malu. Yang ada hanya satu, maju terus menghadapi semua rintahan. Maju tak gentar membela yang bayar. Hehehe, sangat Indonesiawi.

Salam dan Sapaan

Mengucapkan salam adalah salah satu ciri masyarakat Jepang. Bahkan termasuk juga ciri polisi Jepang. Tidak jarang polisi lah yang lebih dulu menyapa anggota masyarakat.

Beda banget dengan di negara kita. Semua pengendara kendaraan bermotor kalau lihat polisi kumpul di pinggir jalan, pasti berdesir darahnya. Sebab polisi di negeri kita identik dengan 'masalah'. Sudah tampangnya serem, eh suka minta duit pula.

Di Jepang, perilaku suka menyapa dengan ramah ini berdampak positif pada citra profesi kepolisian. Menyapa atau mengucapkan salam sudah ditanamkan sejak dini pula, sewaktu mereka menjalani pendidikan. Siswa calon polisi dilatih untuk secara terjadwal berjaga di pos pada saat-saat jam sibuk, yaitu pagi, siang dan sore hari. Mereka diwajibkan menyapa setiap warga yang lewat di depan pos tersebut.

Kalau di Indonesia, seandainya ada polisi menyapa kita di jalan, pasti kita sudah bilang, "Pak s..ss..ssaya salah apa pah, ah..eh..anu...bbbuu bukan saya malingnya, p..pak." Suka tidak suka, memang begitulah yang terjadi di negeri kita. Sudah terlanjur kita ketakutan duluan lihat polisi. Gawat.

Jangan-jangan salah satu kegagalan pak Adang Daradjatun dalam pilkada Jakarta justru karena sulit mengubah citra pak polisi ini. Di tengah masyarakat kita ini, citra polisi nyatanya memang masih terlalu berat untuk diangkat. Buktinya, pak Adang kalah dan tidak terpilih. Jangan-jangan orang masih trauma dengan sosok polisi kita.

Selalu Minta Maaf dan Terima Kasih

Kalau sering lihat film-film ninja, kesan bahwa orang Jepang itu angker, angkuh, dingin dan kasar memang bisa terbentuk. Padahal sebetulnya orang Jepang itu tentu tidak semuanya ninja.

Yang kami dapati malah sebaliknya, orang Jepang justru sangat ramah dan kalau terjadi apa-apa, mereka lebih dahulu minta maaf.

Contoh sederhana, kalau di jalan kita tersenggol dengan sesama pejalan kaki, maka spontan akan meluncur dari mulut mereka permintaan maaf. Meski pun bukan kesalahan mereka: suimasen...suimasen (maaf...maaf...).

Kalimat lain yang paling sering kami dengar adalah ucapan terima kasih. Kalau tidak salah dengar mereka mengucapkan arigato gozaimasu (betul nggak ya tulisannya?). Tapi percayalah, itulah kalimat yang paling sering kami dengar selama beberapa hari di Jepang.

Pramugari di Sinkansen itu kalau memeriksa tiket, membungkuknya sangat dalam, bahkan ketika menyerahkan tiket yang sudah mereka periksa, bukan hanya membungkuk, tapi kakinya pun mereka tekuk, seperti orang mau berjongkok. Wah, ini sih lebih sopan dari puteri-puteri Keraton di Yogya dan Solo.

Tertib Ketika Antri

Namanya kota besar, pasti semua harus antri. Tapi yang menarik dari antrian yang di Jepang, semua berjalan dengan tertib. Tidak ada saling sodok, saling sikut dan saling dorong.

Termasuk saat antri masuk ke subway. Meski sudah sangat padat dan petugas terpaksa harus mendorong penumpang biar bisa masuk ke dalam gerbong, tapi yang belum kebagian tetap rela antri dengan manis.

Kesabaran orang Jepang dalam hal antri ini jarang kita temui di negeri kita. Bisa-bisanya mereka berdiri berjejer rapi, meski tidak ada pembatas. Mungkin sudah 'bawaan orok' kali ya.

Fenomena Furiita di Jepang

Akhir-akhir ini, dalam buku panduan almamater beberapa perguruan tinggi, disediakan kolom `Furiitaa` (Freeters) untuk status jenis pekerjaan. Istilah furiitaa diambil dari singkatan Free (bahasa Inggris) dan Arbeit (bahasa Jerman). Furiitaa ditunjukan pada orang-orang yang lebih senang memilih pekerjaan lepas (freeters) sebagai `pekerjaan tetap` tanpa mau terikat menjadi pegawai resmi pada satu perusahaan.

Menurut departemen tenaga kerja Jepang tahun 2003, yang dimaksud dengan furiitaa adalah mereka yang berumur 15 sampai 35 tahun, bukan ibu rumah tangga, tidak memiliki pekerjaan tetap, lebih senang menjalani perkerjaan paruh waktu dan berpindah-pidah tempat.

Dilihat dari data, jumlah furiitaa setiap tahun meningkat. Diperkirakan dalam lima tahun ini furiitaa meningkat menjadi 500 ribu orang lebih. Untuk lulusan perguruan tinggi tahun lalu, diperkirakan yang memilih furiitaa sekitar 23%. Sebagian besar kasus yang terjadi adalah mereka mengundurkan diri dari pekerjaan tetap dengan berbagai macam alasan. Diantaranya tidak sesuai dengan perkerjaan yang digeluti dan lebih senang menjadi furiitaa.

Kondisi seperti ini pernah diangkat dalam novel "Sorekara" oleh Natsume Soseki. Novel ini menceritakan tokoh utama yang bernama Nagai Daisuke, meski telah berumur 30 tahun lebih senang hidup tanpa memiliki pekerjaan tetap. Ia hidup dengan menanti uluran tangan dari kedua orang tua dan kakak laki-lakinya. Waktu yang ada dihabiskan untuk bersenang-senang menggeluti hobi yang digemarinya. Hingga pada suatu hari, orang tua yang bisanya memberinya jatah kebutuhan hidup, memutuskan untuk menghentikan pengiriman uang padanya. Tokoh Daisuke akhirnya terpaksa harus turun naik densha untuk mencari pekerjaan.

Kaum muda Jepang saat ini, tidak sedikit yang mulai senang menjalani hidup seperti tokoh Daisuke diatas. Mereka lebih senang hidup menempel pada orang tua layaknya parasit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Uang yang diperolehnya dari kerja paruh waktu (paato, arubaito) sebagai furiitaa lebih sering digunakan untuk kepentingan pribadi seperti bersengan-senang, tamasya ataupun menyalurkan hobi. Para furiitaa ini akan menolak jika ditawarkan menjadi pegawai tetap dengan alasan tidak bisa memiliki waktu bebas.

Memang tidak semua kasus furiitaa berkesan buruk. Ada diantara beberapa furiitaa yang memang tidak mau memiliki pekerjaan tetap dahulu sampai benar-benar menemukan pekerjaan yang cocok. Alasan mendasar kenapa mereka memilih menjadi freeter sementara adalah "ingin mencari jati diri" atau "pemberontakan terhadap pengekangan kebebasan."

Rupanya sistem manajemen Jepang yang dulu dipandang dengan kagum, kini juga mulai memudar dengan lebih senangnya para anak muda Jepang bekerja sebagai furiitaa. Sedikit demi sedikit manajemen ala Jepang dengan sistem kerja seumur hidup, kesenioran dan serikat pekerja seperusahaan mulai ingin ditinggalkan para anak muda yang memilih menjadi furiitaa.

Tentu saja bertambahnya kasus furiitaa ini menjadi masalah bagi pemerintah Jepang. Dengan semakin bertambahnya furiitaa, pemerintah memperkirakan akan bertambah pula kasus `bankon` (telat menikah), penurunan jumlah anak, penurunan jumlah penduduk. Selain itu peningkatan jumlah furiitaa akan menjadi masalah bagi ekonomi juga sistem pensiun Jepang.

Untuk menghambat makin bertambahnya jumlah furiitaa, pemerintah Jepang kini mendirikan lembaga yang diberi nama Young Support Paza. Maksud pendirian lembaga ini adalah untuk membantu mencarikan pekerjaan yang cocok bagi kaum muda. Juga mengadakan berbagai macam training atau pelatihan. Diantaranya pelatihan bagaimana cara menulis resume untuk lamaran pekerjaan. Diharapkan dengan adanya lembaga ini, para furiitaa dapat menemukan pekerjaan tetap yangcocok dan sesuai dengan keahliannya.

Saturday, June 27, 2009

Catatan Jepang (bagian 1)

Perjalanan ke jepang selama satu tahun kemarin memberikan banyak pelajaran dan pengalaman yang berharga untuk kehidupan saya pribadi. disana banyak hal saya alami. mulai dari yang sedih, senang, bahagia, lelah. semuanya ada deh. saya bisa mendapatkan kesempatan ke jepang karena perusahaan tempat saya bekerja memberikan kesempatan pada saya untuk mempelajari lebih banyak lagi soal program yang menjadi makanan saya di tempat bekerja. namun dalam jangka waktu yang lumayan itu, banyak hal lain yang saya dapatkan. pertemanan, persahabatan, dengan teman-teman saya yang bersala dari indonesia, juga teman-teman jepang saya yang selalu menemani saya selama di sana. ya. sahabat sekaligus kakak saya obata-san dan koike-san dia tidak hanya menjadi seorang partner kerja buat saya, tapi kita bisa berbagi bersama dalam suka dan duka. banyak hal yang kita alami bersama di sana.

awalnya sih saya merasa kesepian dan membosankan ditengah orang-orang asing yang kita tahu pola hidupnya, budaya serta kebiasaan adat-istiadatnya berbeda dengan budaya di Indonesia. namun demikian, seiring waktu saya tidak merasakan hal itu di bulan ketiga saya di jepang. banyak lho kejadian-kejadian lucu dan memalukan yang saya alami di jepang. contohnya, seperti kita ketahui, di jepang itu serba otomatis, dan praktis. tidak seperti di indonesia, kalo mau beli minuman di jalan tinggal dateng ke warung rokok terdekat, tapi dijepang semua itu gak bakalan kita temuin, soalnya semua itu ada di dalam suatu box yang namanya jidouhanbaiki atau mesin penjual otomatis. awalnya waduh bingung, gimana cara gunain mesin ini... untunglah ada teman yang mengajari cara menggunakan mesin itu. hehehe.. maklum di Indonesia itu semua belum ada. kalo pun ada, ehmm... aman gak yah... :)

budaya dan masyarakat Jepang dewasa ini sudah mulai berubah. tidak seperti budaya dan masyarakat Jepang yang saya pelajari dan ketahui semasa bangku kuliah dulu. masyarakat Jepang di kota-kota besar seperti di tokyo dan sekitarnya, sekarang itu memang sudah terpengaruh budaya modern, dan bisa dibilang individualis masyarakatnya semakin terlihat. adab budaya kaum mudanya pun sedikit-demi sedikit sudah mulai berubah. wah pokoknya kaget juga sih kok beda yach. tapi itulah Jepang, negara yang maju dan cara berpikir masyarakatnya.

budaya lain yang membuat saya agak kaget awalnya juga adalah budaya kerja di sana. ditempat perusahaan saya bekerja, setiap pagi mereka melakukan senam pagi Taisho dalam bahasa jepangnyaatau bisa juga di sebut apel juga kale yah... semua sudah berkumpul di lapangan 5 menit sebelum senam di mulai, gak ada tuh yang namanya terlambat. sebab orang jepang itu sangat disiplin dan menghargai sekali waktu yang ada. ini yang seharusnya patut di contoh sama bangsa kita yah gak....

orang Jepang berusaha bekerja sekeras mungkin, mengapa? menurut pengamatan saya selama di sana, mereka sangat menjunjung tinggi rasa tanggung jawab yang diberikan kepada diri mereka. sehingga mereka berkerja dengan serius, dan semangat. makanya awalnya saya kaget lho. di sini kita kalo bekerja dengan baik ada yang benar-benar bekerja tapi ada juga yang baru bekerja dengan baik kalo di liat oleh atasan. di sana sih, kayaknya gak ada tuh.. hehehe.. di sana orang jepang bekerja gak ada yang seperti di Indonesia, bekerja sambil ngobrol. atau ngerumpi buat yang cewek... atau chatting by yahoo atau facebook. salut sama mereka, makanya mereka bisa maju yah.. kapan nih bangsa kita seperti mereka.

(bersambung- Catatan Jepang bagian 2)


HORENSO dalam budaya Jepang

Salah satu perbedaan yang saya rasakan antara kebiasaan orang Indonesia dan Jepang mengenai cara kerja di kantor adalah, orang Indonesia lebih cenderung mengerjakan sesuatu dengan pikiran sendiri, dan kalau orang Jepang lebih cenderung mengikuti peraturan yang telah ada. Mungkin orang Jepang takut disalahkan dengan mengerjakan sendiri, sedangkan orang Indonesia mungkin perasaan tidak mau tergantung (dijajah) orang lain itu lebih kuat.

Salah satu perbedaan yang saya rasakan antara kebiasaan orang Indonesia dan Jepang mengenai cara kerja di kantor adalah, orang Indonesia lebih cenderung mengerjakan sesuatu dengan pikiran sendiri, dan kalau orang Jepang lebih cenderung mengikuti peraturan yang telah ada. Mungkin orang Jepang takut disalahkan dengan mengerjakan sendiri, sedangkan orang Indonesia mungkin perasaan tidak mau tergantung (dijajah) orang lain itu lebih kuat.

Tetapi kerja di kantor bagaimana pun harus memikirkan efisiensi dan kepastian. Peraturan atau kebiasaan di kantor, biasanya berdasarkan pengalaman-pengalaman seniornya, dalam pikiran bagaimana lebih efisien dan lebih pasti. Maka menurut saya lebih bagus mengikuti peraturan yang telah ada. Namun di lain pihak, perlu dipikirkan belum tentu peraturan yang ada sekarang sudah sempurna. Kalau ada ide yang lebih bagus, kapan pun bisa dirubah. Dan sementara itu yang penting adalah diskusi dengan orang lain dan mencapai kesepakatan. Baru kemudian mengganti peraturan, dan mengikuti peraturan yang baru itu.

Kalau mau mementingkan kekhususan sendiri saja, lebih bagus kerja dengan sendiri, bukan di perusahaan. Akan tetapi kemampuan seorang manusia sangat terbatas. Jika ingin mengerjakan hal yang lebih besar, lebih bagus kerja sama dengan banyak orang. Bagaimana menurut anda?

Kalimat-kalimat diatas, termasuk judulnya, saya ambil sama persis dari sebuah majalah on-line Komunikasi IJ. IJ adalah singkatan dari Indonesia – Jepang. Tujuan dibentuknya majalah itu sebagai salah satu media untuk menjembatani budaya Jepang dan Indonesia. Tulisan-tulisan dalam majalah itu lebih banyak dibuat oleh seorang Jepang yang sudah sekitar 20 tahun tinggal di Indonesia. Beliau adalah konsultan pada sebuah lembaga training di Indonesia. Beliau tidak hanya tinggal dan bekerja di Indonesia, tetapi juga sudah berkeluarga dengan istri seorang Indonesia tulen, tepatnya dari pulau Jawa. Makanya selalu ada pepatah Jawa yang diterjemahkan ke bahasa jepang dalam e-magazine ini. Bahkan beliau sudah berani menyetir mobil sendiri kemana-mana. Sesuatu yang sangat jarang saya dapati pada orang Jepang.Saya ambil artikel singkat ini dari majalah beliau karena saya terusik dengan isinya. Orang Indonesia lebih banyak bekerja sesuai aturannya sendiri, sementara orang Jepang cenderung mengikuti peraturan yang berlaku. Betulkah? Apakah ini hasil investigasi mendalam atau lebih kepada pembicaraan umum yang bisa terjadi dimana dan kapan saja? Saya tidak tahu karena saya tidak punya kesempatan untuk bertemu lagi dengan penulis.

Kalau kita bicara sistem, tepatnya quality management system, sudah pasti ada yang namanya prosedur atau SOP. Prosedur dibuat karena ada manual atau guideline yang harus diikuti. Kemudian prosedur diimplementasikan dalam pekerjaan sehari-hari. Secara berkala implementasi ini diaudit baik oleh internal maupun oleh badan sertifikasi. Semua hal yang tidak sesuai dengan guideline dan prosedur akan menjadi sebuah temuan yang harus ditindaklanjuti sampai tuntas. Bila tidak, dapat dipastikan sertifikat quality management system tidak akan diterbitkan.

Nah, pelaksana prosedur-prosedur ini dapat dipastikan sebagian besar adalah orang Indonesia. Dan ada juga peran Japanese yang notabene menduduki posisi cukup tinggi dalam perusahaan Jepang di Indonesia. Artinya baik orang Indonesia maupun Jepang dituntut untuk mematuhi prosedur yang ada jika ingin perusahaannya mendapat sertifikat quality system. Jadi dimana letak ketidakpatuhan yang dimaksud Nobuki Oku san yang menulis artikel diatas?

Saya khawatir yang dimaksud adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak tercakup dalam prosedur quality system. Proyek-proyek baru yang belum ada prosedurnya. Pekerjaan yang sifatnya insidentil atau tambal sulam akibat proses yang diluar prosedur. Atau pekerjaan yang seharusnya didiskusikan dulu dengan atasan tetapi diputuskan sendiri karena mendesaknya waktu. Kalau sudah begini, akan sulit memutuskan mana lebih dulu, telur atau ayam? Anda Indonesia atau Anda Jepang?

Apapun itu, dasar dari semua ini adalah komunikasi. Dengan komunikasi yang baik, tidak hanya antara atasan bawahan, tetapi juga antara orang Indonesia dan orang Jepang, kemungkinan besar semua masalah akan lebih mudah untuk dipikirkan penyelesaiannya. Termasuk bila prosedur terkait belum ada. Ini yang disebut HORENSO dalam bahasa Jepang (baca tentang Horenso disini). Pelaporan, informasi dan konsultasi atau sistem komunikasi antar manusia. Ini yang sulit dilakukan oleh orang Indonesia karena merasa apa yang diinginkan oleh Jepang terlalu detail, berulang-ulang dan tidak output oriented. Ini juga yang sulit dimengerti orang Jepang karena merasa orang Indonesia tidak mengerti bahwa process oriented lebih penting daripada output oriented. Output bisa salah karena proses yang salah. Output bisa menyimpang, tetapi asalkan proses sudah benar, kemungkinan besar lain kali kita bisa menghasilkan output sesuai target. Ini yang ada di pikiran orang Jepang kebanyakan.

Jadi, jangan tersinggung bila kita orang Indonesia dikatakan tidak mau ikut aturan. Ini semua karena perbedaan komunikasi dan sudut pandang. Perbedaan itu asyik juga lho! Coba bayangkan seandainya semua wanita berbentuk sama, pasti bosan kan ? Masih untung kalau sama dengan Tamara Bleszinki atau Dian Sastro. Kalau dengan Nyonya Meneer bagaimana? Hiks.. Jawa banget deh….!!

Referensi : Majalah Komunikasi IJ edisi Januari 2009.

bentou Jepang yang lucu dan cantik and so pasti enak rasanya

makanan di jepang bisa dikatakan mahal lho untuk ukuran orng kita. gak heran kalo dari anak sekolah, pegawai, sampai bos-bosnya pun sering bawa bekal makan siang disebut bento dalam bahasa Jepang. Masih ada embel-embelnya, bukan cuma bento tapi harus kawai bento, artinya bento yang cantik. Ya begitulah karakter budaya Jepang, semuanya harus detil dan perfect. Begitu juga dengan bekal makan siang, tidak sembarangan nasi bungkus ala Indonesia, tapi harus juga enak dipandang, selain enak dimakan.ini salah satu contoh bento yang lucu dan cantik itu.






Hebatnya semua pernak-pernik untuk kawai bento ini tersedia luas di toko-toko, dari mulai pemisah plastik bermotif bus dan kereta, kemudian ember kecil untuk tempat sayuran basah, atau salad, juga tusuk buah kecil yang bermotif binatang, cocok sekali dengan karakter anak-anak. Saya jadi teringat ketika kecil dulu, tidak pernah bawa bekal dari rumah, jadi andalan semua anak-anak Indonesia adalah jajanan di pinggir sekolah atau di depan sekolah. Ada yang jual cireng, pisang goreng, es mambo, nasi uduk sampe sosis goreng. Berikut adalah foto yang mengingatkan kita semua tentang jajanan di sekitar sekolah kita dulu. Berbeda dengan bento, tentu jajanan anak-anak seperti ini tidak higienis, murah sekali, dan selain itu minimal sekali nilai gizinya. Seperti misalnya cireng, kependekan dari aci goreng, enak di lidah, populer di kalangan anak-anak, tapi apakah ada nilai gizi untuk aci (salah satu bahan untuk lem) yang digoreng ? Pemerintah kita pun tidak terpikir untuk menertibkan jajanan rakyat seperti ini. Padahal mayoritas anak-anak di seantero nusantara menjadikan jajanan ini sebagai sumber makanan utama kedua setelah di rumah. Menyedihkan memang .. !


Selain bento made in sendiri, ada banyak perusahaan katering yang menjual bento set, ditatanya pun sangat rapi, dalam kotak plastik tembus pandang, sehingga terlihat semua, pokoknya beda sekali dengan nasi bungkus ala Indonesia. Bento set dijual di supermarket dan counter-counter makanan di kampus, di pusat perkantoran, menjadikan bento sebagai salah satu gaya hidup masyarakat Jepang. Isinya beragam dari mulai sushi, ikan tempura, daging ayam, sapi sampai daging babi pun ada, dan tentu saja dengan side dishes sayuran salad dan lainnya. Komposisi makanan ini tertulis jelas hingga komposisi kalori. Jadi tidak boleh ada penipuan kepada konsumen, rasanya mungkin ini salah satu undang-undang di Jepang, bahwa semua makanan harus diberi label dan komposisi yang jelas. Soal harga ? sama sekali tidak mahal, rata-rata JPY 300 - 500. Dibanding dengan penghasilan pekerja rata-rata disini, tentu sangat-sangat murah sekali.

Thursday, June 25, 2009

Berlandaskan Tradisi, Raih Modernisasi

KALAU di banyak negara tradisi merupakan hambatan kemajuan, atau persisnya hambatan modernisasi, maka tidak begitu dengan Jepang. Negeri Sakura ini justru dengan modal tradisi mampu masuk era persaingan global yang penuh nuansa modernisasi-kapitalistik. Maka, sangat masuk akal kalau Robert N Bellah pun menyatakan bahwa bukan protestanisme saja yang mampu membangkitkan semangat kapitalistik suatu bangsa. Pendapat Bellah itu sebagai antitesis Max Weber yang sebelumnya berpendapat bahwa kapitalisme muncul dari etika protestan.
Masyarakat Jepang membuktikan, tradisi justru bisa dijadikan landasan kokoh bagi pengembangan modernisasi, bahkan kapitalisasi. Kenyataan bahwa masyarakat Negeri Sakura ini mampu menjadi kekuatan industri yang maju, menggambarkan kehebatan kearifan-kearifan lokal (local wisdom) mengatasi arus globalisasi yang sangat Barat (western). Kearifan lokal itu tidak terkalahkan oleh penetrasi nilai-nilai Barat, sebaliknya menjadi kekuatan transformatif yang dahsyat.
Tradisi justru menjadi fasilitator kemajuan. Dengan tradisi, mereka mencapai Jepang yang modern seperti dicita-citakan oleh para samurai. Mereka memersepsi dan menerapkan tradisi tidak secara kaku, sehingga jangan heran kalau Anda pergi ke sana melihat anak-anak muda berdandan seperti layaknya anak-anak muda di New York, London, atau Paris. Pakaiannya trendi, rambutnya dicat merah, dengan gestur yang modernis.
Tapi, juga jangan heran, kalau di jalan-jalan Anda masih bisa melihat satu-dua orang yang mengenakan kimono. Itulah potret perpaduan antara niat untuk maju mencapai prestasi (need of achievement) dan spirit mempertahankan budaya lokal. Saya membayangkan, di benak mereka terpikir semangat ''saya modis, bahkan kapitalistik, tetapi saya adalah orang Jepang!''
Tidak Beragama?
Sikap dalam keberagamaan pun tidak jauh berbeda. Mungkin di antara mereka penganut Shinto, Buddha, Islam, atau Kristen, namun tradisi merupakan hal yang mereka pegang teguh. Walaupun Shinto, Buddha, Islam, atau Kristen, tetapi mereka tetap memegang tradisi sebagai landasan hidup.
''Orang Jepang itu sepertinya tidak beragama, Mas. Saya tidak pernah melihat mereka sembahyang, berdoa, atau melakukan ritual keagamaan. Apalagi anak-anak mudanya. Kalau yang tua-tua sih mungkin ada,'' kata seorang pekerja magang (kenshuusei) kepada saya. Pernah ada survei yang menyebutkan, di Jepang hanya satu di antara empat orang, yang percaya agama.
Jepang adalah contoh negara yang memisahkan antara agama dan budaya. Bagi mereka, agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Itulah sebabnya, dalam bisnis pun mereka tidak pernah membawa-bawa nama agama, tapi melandasinya dengan tradisi yang kuat. Contoh konkretnya adalah menjunjung tinggi kepercayaan (trust), disiplin, dan orientasi kualitas, yang ditopang oleh spirit kerja keras (bushido) dan semangat harga diri (samurai) seperti yang saya singgung dalam seri ke-2 laporan ini. Begitu pula budaya malu, sehingga tidak jarang mendorong seorang pejabat melakukan harakiri (bunuh diri) ketika terungkap melakukan korupsi.
Saya kira, ketertiban dan kebersihan dalam penataan kota pun dipengaruhi oleh budaya malu itu. Malu kalau membuang sampah sembarangan, malu kalau berbuat tidak terpuji, malu kalau tidak menghasilkan prestasi, dan seterusnya.
Silakan pembaca membandingkannya dengan keadaan kita di Indonesia. Masih adakah budaya malu di antara kita? Masih adakah orientasi kualitas yang melekat dalam pikiran kita? Bukankah kita sering berbuat kebalikannya; melanggengkan kekuasaan meskipun korup, melakukan distorsi kualitas demi kepentingan pribadi (vested interest)?
Ah, tapi sungguh saya tidak bermaksud melecehkan bangsa sendiri, karena sebenarnya bangsa kita memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang lebih hebat dari Jepang. Hanya saja, kita belum piawai mengelolanya dengan baik, belum pintar mengembangkannya menjadi kekuatan manifes sebagai keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Sayang memang!
Perpaduan antara tradisi dan spirit kapitalistis itu misalnya saya rasakan pada jamuan-jamuan makan dengan para pengusaha. Hampir semua jamuan itu diselenggarakan secara tradisional, dengan setting tatami (mungkin bisa diistilahkan sebagai lesehan), minum teh hijau (ocha), sake, makan ikan-ikan mentah (shusi), dan makanan tradisional lainnya. Pokoknya Jepang banget!
Makanan-makanan ala Amerika memang ada, seperti McDonald dan Kentucky Fried Chicken, tetapi dominasi tetap ada pada makanan-makanan tradisional. Apresiasi terhadap tradisi yang sangat kuat itulah yang nampaknya membuat Jepang hebat. Jadi, tidak perlu heran kalau makanan-makanan tradisional mereka pun go international. Restoran Jepang ada di mana-mana, makanan Jepang masuk di berbagai negara di dunia.
Suami Dijatah
Jepang memang berhasil memanfaatkan tradisi menuju modernisasi. Tapi tidaklah benar kalau dikatakan tidak ada pengikisan budaya lokal itu oleh globalisasi. Kesan ini misalnya saya peroleh dari beberapa informasi tentang peran perempuan (atau tepatnya istri) dalam rumah tangga.
Maaf kalau sekali lagi saya menyebut nama Nurudin; seorang pekerja di Kyoto asal Klaten yang menikahi perempuan Jepang. Dia adalah contoh pelaku yang merasakan perubahan nilai-nilai tradisi Jepang.
''Perempuan Jepang sekarang, tidak sama dengan perempuan Jepang generasi-generasi dulu. Kalau dulu mereka dikenal sebagai istri yang mengabdi penuh kepada suami, sekarang tidak persis seperti itu,'' katanya.
Istri-istri dari generasi masa kini tidak lagi melepaskan sepatu suami yang baru pulang dari kantor seperti istri-istri Jepang masa lalu. ''Tapi kalau gaji suami tetap sama dengan masa lalu, tetap ditransfer ke rekening istri. Suami hanya dijatah tiap bulannya,'' kata Nurudin yang sudah dikaruniai dua anak itu.
''Tapi sampeyan kan bisa cari duit lanang ta?íí tanya saya.
''Bisa mas. Maka, sepulang kerja saya memasok bahan-bahan makanan Indonesia untuk orang-orang Indonesia yang tinggal di sini,'' lanjutnya. Dari usaha sambilan itu, setidaknya ia bisa mengumpulkan uang sekitar 100.000 yen tiap bulan (sekitar Rp 800.000).
''Istri tahu tentang duit lanang itu?íí tanya saya lagi.
''Tahu, tapi tidak apa-apa, karena di sini itu biasa. Pokoknya, uang gajian suami itu memang menjadi hak istri, untuk keperluan anak-anak dan kebutuhan keluarga. Suami mendapat jatah dari istri. Nah, kalau ingin pemasukan tambahan ya harus cari sambilan,'' katanya.
Relasi suami-istri model Jepang seperti itulah yang kemudian sering memunculkan gurauan tentang suami Jepang: ''di rumah seperti kelinci, di luar rumah seperti macan''. Mengapa? Karena dijatah oleh istri. Makino, seorang pengusaha besar di Kosai pun mengiyakan gurauan tersebut.
Beberapa orang yang saya temui menjelaskan, filosofi ''jatah-menjatah'' itu berasal dari tradisi bahwa tugas suami memang mencari uang untuk menafkahi anak-istri. Adapun tugas istri adalah berbakti, mengabdi kepada suami. Jadi, semacam keseimbangan; prinsip timbal-balik.
Repotnya, tidak jarang yang sekarang adalah: gaji suami tetap ditransfer ke rekening istri, tapi tugas mengabdi belum tentu berjalan sesuai harapan. Timbul ketidakseimbangan. Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup yang makin materialistis dan pragmatis. Lagi-lagi, inilah pengaruh globalisasi yang kapitalistik.
Perubahan nilai-nilai tradisi itu juga diakui pula oleh Ny Ita, perempuan Indonesia yang menikah dengan lelaki Jepang dan sekarang menetap di Tokyo. Dia adalah pemandu kami dalam kunjungan delegasi Kadin Jateng. ''Memang ada pergeseran nilai-nilai seperti itu. Ibu mertua saya misalnya, sampai sekarang masih menerapkan prinsip-prinsip pengabdian seorang istri kepada suami. Dia masih melepaskan sepatu suaminya. Tetapi, saudara ipar saya yang berusia lebih muda tidak lagi seperti itu,'' katanya.
Kenyataan itulah yang nampaknya mengubah pemeo zaman dulu, yaitu: ''kalau ingin bahagia, menikahlah dengan perempuan Jepang, makanlah masakan China, dan tinggal di Amerika''. Maknanya, perempuan Jepang itu kalau menjadi istri akan mengabdi penuh (ngabekti) sehingga suami bahagia; masakah China itu lezat, dan Amerika itu paling nyaman sebagai tempat tinggal karena demokratis.
Terlepas dari tradisi yang kuat, toh masyarakat Jepang tetap saja ''terseret'' arus global. Hanya saja, ''keterseretan'' itu tidak separah dibandingkan masyarakat-masyarakat lain di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka masih mampu memanfaatkan nilai-nilai lokal (local genius) sebagai landasan untuk maju. Dalam konteks pemikiran John Naisbitt (dalam Global Paradox) inilah yang disebut think globally, act locally; berpikir global, bertindak lokal.
(dikutip dari: Harian Suara Merdeka)