Sunday, June 28, 2009

Fenomena Furiita di Jepang

Akhir-akhir ini, dalam buku panduan almamater beberapa perguruan tinggi, disediakan kolom `Furiitaa` (Freeters) untuk status jenis pekerjaan. Istilah furiitaa diambil dari singkatan Free (bahasa Inggris) dan Arbeit (bahasa Jerman). Furiitaa ditunjukan pada orang-orang yang lebih senang memilih pekerjaan lepas (freeters) sebagai `pekerjaan tetap` tanpa mau terikat menjadi pegawai resmi pada satu perusahaan.

Menurut departemen tenaga kerja Jepang tahun 2003, yang dimaksud dengan furiitaa adalah mereka yang berumur 15 sampai 35 tahun, bukan ibu rumah tangga, tidak memiliki pekerjaan tetap, lebih senang menjalani perkerjaan paruh waktu dan berpindah-pidah tempat.

Dilihat dari data, jumlah furiitaa setiap tahun meningkat. Diperkirakan dalam lima tahun ini furiitaa meningkat menjadi 500 ribu orang lebih. Untuk lulusan perguruan tinggi tahun lalu, diperkirakan yang memilih furiitaa sekitar 23%. Sebagian besar kasus yang terjadi adalah mereka mengundurkan diri dari pekerjaan tetap dengan berbagai macam alasan. Diantaranya tidak sesuai dengan perkerjaan yang digeluti dan lebih senang menjadi furiitaa.

Kondisi seperti ini pernah diangkat dalam novel "Sorekara" oleh Natsume Soseki. Novel ini menceritakan tokoh utama yang bernama Nagai Daisuke, meski telah berumur 30 tahun lebih senang hidup tanpa memiliki pekerjaan tetap. Ia hidup dengan menanti uluran tangan dari kedua orang tua dan kakak laki-lakinya. Waktu yang ada dihabiskan untuk bersenang-senang menggeluti hobi yang digemarinya. Hingga pada suatu hari, orang tua yang bisanya memberinya jatah kebutuhan hidup, memutuskan untuk menghentikan pengiriman uang padanya. Tokoh Daisuke akhirnya terpaksa harus turun naik densha untuk mencari pekerjaan.

Kaum muda Jepang saat ini, tidak sedikit yang mulai senang menjalani hidup seperti tokoh Daisuke diatas. Mereka lebih senang hidup menempel pada orang tua layaknya parasit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Uang yang diperolehnya dari kerja paruh waktu (paato, arubaito) sebagai furiitaa lebih sering digunakan untuk kepentingan pribadi seperti bersengan-senang, tamasya ataupun menyalurkan hobi. Para furiitaa ini akan menolak jika ditawarkan menjadi pegawai tetap dengan alasan tidak bisa memiliki waktu bebas.

Memang tidak semua kasus furiitaa berkesan buruk. Ada diantara beberapa furiitaa yang memang tidak mau memiliki pekerjaan tetap dahulu sampai benar-benar menemukan pekerjaan yang cocok. Alasan mendasar kenapa mereka memilih menjadi freeter sementara adalah "ingin mencari jati diri" atau "pemberontakan terhadap pengekangan kebebasan."

Rupanya sistem manajemen Jepang yang dulu dipandang dengan kagum, kini juga mulai memudar dengan lebih senangnya para anak muda Jepang bekerja sebagai furiitaa. Sedikit demi sedikit manajemen ala Jepang dengan sistem kerja seumur hidup, kesenioran dan serikat pekerja seperusahaan mulai ingin ditinggalkan para anak muda yang memilih menjadi furiitaa.

Tentu saja bertambahnya kasus furiitaa ini menjadi masalah bagi pemerintah Jepang. Dengan semakin bertambahnya furiitaa, pemerintah memperkirakan akan bertambah pula kasus `bankon` (telat menikah), penurunan jumlah anak, penurunan jumlah penduduk. Selain itu peningkatan jumlah furiitaa akan menjadi masalah bagi ekonomi juga sistem pensiun Jepang.

Untuk menghambat makin bertambahnya jumlah furiitaa, pemerintah Jepang kini mendirikan lembaga yang diberi nama Young Support Paza. Maksud pendirian lembaga ini adalah untuk membantu mencarikan pekerjaan yang cocok bagi kaum muda. Juga mengadakan berbagai macam training atau pelatihan. Diantaranya pelatihan bagaimana cara menulis resume untuk lamaran pekerjaan. Diharapkan dengan adanya lembaga ini, para furiitaa dapat menemukan pekerjaan tetap yangcocok dan sesuai dengan keahliannya.

No comments:

Post a Comment