Saturday, June 27, 2009

HORENSO dalam budaya Jepang

Salah satu perbedaan yang saya rasakan antara kebiasaan orang Indonesia dan Jepang mengenai cara kerja di kantor adalah, orang Indonesia lebih cenderung mengerjakan sesuatu dengan pikiran sendiri, dan kalau orang Jepang lebih cenderung mengikuti peraturan yang telah ada. Mungkin orang Jepang takut disalahkan dengan mengerjakan sendiri, sedangkan orang Indonesia mungkin perasaan tidak mau tergantung (dijajah) orang lain itu lebih kuat.

Salah satu perbedaan yang saya rasakan antara kebiasaan orang Indonesia dan Jepang mengenai cara kerja di kantor adalah, orang Indonesia lebih cenderung mengerjakan sesuatu dengan pikiran sendiri, dan kalau orang Jepang lebih cenderung mengikuti peraturan yang telah ada. Mungkin orang Jepang takut disalahkan dengan mengerjakan sendiri, sedangkan orang Indonesia mungkin perasaan tidak mau tergantung (dijajah) orang lain itu lebih kuat.

Tetapi kerja di kantor bagaimana pun harus memikirkan efisiensi dan kepastian. Peraturan atau kebiasaan di kantor, biasanya berdasarkan pengalaman-pengalaman seniornya, dalam pikiran bagaimana lebih efisien dan lebih pasti. Maka menurut saya lebih bagus mengikuti peraturan yang telah ada. Namun di lain pihak, perlu dipikirkan belum tentu peraturan yang ada sekarang sudah sempurna. Kalau ada ide yang lebih bagus, kapan pun bisa dirubah. Dan sementara itu yang penting adalah diskusi dengan orang lain dan mencapai kesepakatan. Baru kemudian mengganti peraturan, dan mengikuti peraturan yang baru itu.

Kalau mau mementingkan kekhususan sendiri saja, lebih bagus kerja dengan sendiri, bukan di perusahaan. Akan tetapi kemampuan seorang manusia sangat terbatas. Jika ingin mengerjakan hal yang lebih besar, lebih bagus kerja sama dengan banyak orang. Bagaimana menurut anda?

Kalimat-kalimat diatas, termasuk judulnya, saya ambil sama persis dari sebuah majalah on-line Komunikasi IJ. IJ adalah singkatan dari Indonesia – Jepang. Tujuan dibentuknya majalah itu sebagai salah satu media untuk menjembatani budaya Jepang dan Indonesia. Tulisan-tulisan dalam majalah itu lebih banyak dibuat oleh seorang Jepang yang sudah sekitar 20 tahun tinggal di Indonesia. Beliau adalah konsultan pada sebuah lembaga training di Indonesia. Beliau tidak hanya tinggal dan bekerja di Indonesia, tetapi juga sudah berkeluarga dengan istri seorang Indonesia tulen, tepatnya dari pulau Jawa. Makanya selalu ada pepatah Jawa yang diterjemahkan ke bahasa jepang dalam e-magazine ini. Bahkan beliau sudah berani menyetir mobil sendiri kemana-mana. Sesuatu yang sangat jarang saya dapati pada orang Jepang.Saya ambil artikel singkat ini dari majalah beliau karena saya terusik dengan isinya. Orang Indonesia lebih banyak bekerja sesuai aturannya sendiri, sementara orang Jepang cenderung mengikuti peraturan yang berlaku. Betulkah? Apakah ini hasil investigasi mendalam atau lebih kepada pembicaraan umum yang bisa terjadi dimana dan kapan saja? Saya tidak tahu karena saya tidak punya kesempatan untuk bertemu lagi dengan penulis.

Kalau kita bicara sistem, tepatnya quality management system, sudah pasti ada yang namanya prosedur atau SOP. Prosedur dibuat karena ada manual atau guideline yang harus diikuti. Kemudian prosedur diimplementasikan dalam pekerjaan sehari-hari. Secara berkala implementasi ini diaudit baik oleh internal maupun oleh badan sertifikasi. Semua hal yang tidak sesuai dengan guideline dan prosedur akan menjadi sebuah temuan yang harus ditindaklanjuti sampai tuntas. Bila tidak, dapat dipastikan sertifikat quality management system tidak akan diterbitkan.

Nah, pelaksana prosedur-prosedur ini dapat dipastikan sebagian besar adalah orang Indonesia. Dan ada juga peran Japanese yang notabene menduduki posisi cukup tinggi dalam perusahaan Jepang di Indonesia. Artinya baik orang Indonesia maupun Jepang dituntut untuk mematuhi prosedur yang ada jika ingin perusahaannya mendapat sertifikat quality system. Jadi dimana letak ketidakpatuhan yang dimaksud Nobuki Oku san yang menulis artikel diatas?

Saya khawatir yang dimaksud adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak tercakup dalam prosedur quality system. Proyek-proyek baru yang belum ada prosedurnya. Pekerjaan yang sifatnya insidentil atau tambal sulam akibat proses yang diluar prosedur. Atau pekerjaan yang seharusnya didiskusikan dulu dengan atasan tetapi diputuskan sendiri karena mendesaknya waktu. Kalau sudah begini, akan sulit memutuskan mana lebih dulu, telur atau ayam? Anda Indonesia atau Anda Jepang?

Apapun itu, dasar dari semua ini adalah komunikasi. Dengan komunikasi yang baik, tidak hanya antara atasan bawahan, tetapi juga antara orang Indonesia dan orang Jepang, kemungkinan besar semua masalah akan lebih mudah untuk dipikirkan penyelesaiannya. Termasuk bila prosedur terkait belum ada. Ini yang disebut HORENSO dalam bahasa Jepang (baca tentang Horenso disini). Pelaporan, informasi dan konsultasi atau sistem komunikasi antar manusia. Ini yang sulit dilakukan oleh orang Indonesia karena merasa apa yang diinginkan oleh Jepang terlalu detail, berulang-ulang dan tidak output oriented. Ini juga yang sulit dimengerti orang Jepang karena merasa orang Indonesia tidak mengerti bahwa process oriented lebih penting daripada output oriented. Output bisa salah karena proses yang salah. Output bisa menyimpang, tetapi asalkan proses sudah benar, kemungkinan besar lain kali kita bisa menghasilkan output sesuai target. Ini yang ada di pikiran orang Jepang kebanyakan.

Jadi, jangan tersinggung bila kita orang Indonesia dikatakan tidak mau ikut aturan. Ini semua karena perbedaan komunikasi dan sudut pandang. Perbedaan itu asyik juga lho! Coba bayangkan seandainya semua wanita berbentuk sama, pasti bosan kan ? Masih untung kalau sama dengan Tamara Bleszinki atau Dian Sastro. Kalau dengan Nyonya Meneer bagaimana? Hiks.. Jawa banget deh….!!

Referensi : Majalah Komunikasi IJ edisi Januari 2009.

No comments:

Post a Comment